Jumat, 19 Oktober 2012

Penerapan Hukum Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah


Penerapan Hukum Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah
Pembiayaan   yang   diberikan   oleh   Bank   Syariah   kepada   nasabah sebenarnya merupakan risiko yang akan dihadapi oleh Bank Syariah karena semakin tinggi keuntungan yang akan diharapkan oleh Bank Syariah dalam pembiayaan yang diberikannya juga akan semakin tinggi risiko yang akan dihadapi oleh Bank Syariah tersebut. Risiko tersebut terkait dengan personal dan kondisi di luar perkiraan. Risiko personal bisa muncul berupa tidak bisanya nasabah menjaga amanah yang diberikan oleh Bank Syariah dan hal ini juga akan berdampak pada mnculnya pembiayaan bermasalah. Sedangkan risiko kondisi di luar perkiraan adalah seperti terjadinya bencana gempa bumi (force majeure) yang dapat melumpuhkan hampir seluruh bidang kehidupan yang juga berdampak pada sektor ekonomi riil.
Dalam konsep di Bank Syariah tidak boleh ada jaminan sedangkan pada prakteknya di Indonesia ada jaminan sebagaimana yang ada dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) diputuskan bahwa pada prinsipnya tidak ada jaminan di Bank Syariah, namun agar mudharib atau pihak  ketiga (debitor)  tidak  melakukan  penyimpangan,  Lembaga  Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan dari debitor. Jaminan ini hanya dapat dicairkan bila debitor terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
1.    Konsep Jaminan Dalam Hukum Islam
Secara umum jaminan  dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua: jaminan yang berupa orang (personal guarancy) sering dikenal dengan istilah kafalah dan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Oleh karena itu, pembahasan berikut akan mengulas kedua macam istilah tersebut menurut hukum Islam.
a.            Kafalah
Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah,  hamalah , dan za’aamah,  ketiga  istilah  tersebut  memilki  arti  yang  sama,  yakni menjamin  atau  menanggung[1]. Sedangkan  menurut  terminologi Kafalah  adalah  Jaminan yang  diberikan  oleh  kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung).
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT., pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; “Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa  yang  dapat  mengembalikannya  akan  memperoleh  makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga hadist Nabi  saw; “Pinjaman  hendaklah  dikembalikan  dan  yang  menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Dawud).
Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat , yaitu:
1)            Kafiil (orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal,tidak  dicegah  membelanjakan  harta (mahjur)  dan  dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2)            Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya  ialah  diketahui  oleh  orang  yang  menjamin,  ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan.
3)            Makful ‘anhu (orang yang berutang/yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih hidup (belum mati).
4)            Madmun bih atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau dipenuhi,   menjadi   tanggungannya (makful   anhu),   dan   bisa diserahkan oleh penjamin (kafiil).
5)            Lafadz   ijab   qabul,   disyaratkan   keadaan   lafadz   itu   berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.[2]
Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).
Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: 1)    kafalah  bi  al-Dayn,  yaitu  kewajiban  membayar  hutang  yang menjadi beban orang lain,)    kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan   barang   yang   di-ghashab   dan   menyerahkan barang jualan kepada pembeli, 3)    kafalah  dengan ‘aib,  maksudnya  adalah  jaminan  bahwa  jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).

b.                  Rahn.
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad  ar-rahn  dalam  istilah  hukum  positif  disebut  dengan  barang jaminan. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki istilah ar-rahn adalah Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat  mengikat[3].  Obyek  jaminan  dapat  berbentuk  materi,  atau manfaat, dimana keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual,  tetapi  boleh  juga  penyerahannya  secara  hukum,  seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, sehingga yang diserahkan adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).[4]
Berbeda dengan definisi di atas, menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, ar-rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,  yang  dapat  dijadikan  pembayar  utang  apabila  orang  yang berutang t i d a k  bisa membayar utangnya itu.[5]
Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanya yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat  sebagaimana  yang  dikemukakan  ulama  madzhab  Maliki.Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak  dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak.
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul.[6] Dalam surah Al-Baqarah, ayat  283, berbunyi:
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi,   jika   sebagian   kamu   mempercayai   sebagian   yang   lain, hendaklah  yang  dipercayai  itu  menunaikan  amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu    menyembunyikan    kesaksian,    karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:
1)         Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum.  Kecakapan bertindak hukum, menurut ulama adalah   orang   yang   telah baligh dan berakal (mumayyiz). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja.  Oleh sebab  itu  menurut  mereka  anak  kecil  yang  mumayyiz  boleh melakukan akad rahn,  dengan syarat akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapatkan persetujuan dari
walinya.
2)         Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila  akad  itu  dibarengi  dengan  syarat  tertentu  atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan   akadnya   sah. Ulama Malikiyah,   Syafi’iyah dan Hanabilah  mengatakan  apabila  syarat  itu  adalah  syarat  yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan,tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal.  Kedua syarat di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.  Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu,   pihak   pemberi   utang   minta   agar   akad   itu   disaksikan oleh dua orang saksi.  Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.
3)         Syarat al-marhum bihi (utang) adalah:
a)      merupakan  hak  yang  wajib  dikembalikan  kepada  orang tempat berutang.
b)      Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu.
c)      Utang itu jelas dan tertentu.
4)         Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan), menurut para pakar fiqh, adalah:
a)    barang  jaminan  itu  boleh  dijual  dan  nilainya  seimbang dengan utang,
b)    barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan,
c)    barang jaminan itu jelas dan tertentu,
d)    jaminan itu milik sah orang yang berutang,
e)    barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain,
f)     barang  jaminan  itu  merupakan  harta  yang  utuh,  tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. [7]
Di  samping  syarat-syarat  di  atas,  para  ulama  fiqh  sepakat menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang,  dan  uang  yang  dibutuhkan  telah  diterima  peminjam  uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn)  oleh  para  ulama  disebut  sebagai  qabdh  al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini menjadi penting karena
Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 283 menyatakan: " fa rihaanun maqbuudhatun" (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]).
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.[8]
Dari  uraian  tentang  konsep  jaminan  di  atas,    jelas  bahwa eksistensi jaminan di akui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan   oleh   pihak   lain   atas   kewajiban/prestasi   yang   harus dilaksanakan oleh pihak  yang dijamin (debitor) kepada pihak yang berhak  menerima  pemenuhan  kewajiban/prestasi (kreditor)  disebut dengan kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan debitor (orang yang berhutang) kepada kreditor (orang yang berpiutang) disebut dengan rahn.
Sebagai perbandingan, dalam sistem yang berlaku di Indonesia jaminan   digolongkan   menjadi 2 macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan), dan jaminan imateriil (perorangan, borgtocht). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan   mengikuti   benda   yang   bersangkutan.   Sedangkan jaminan perorangan  tidak  memberikan  hak  mendahului  atas  benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.[9]


[1] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), cet. 6, hal. 4141
[2] Wahbah Zuhaili. Op. Cit,  hal. 4152-4161
[3] Ad-Dardir, Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi, (Mesir : Dar al-Fikr, 1978), Jilid III, hal. 303.
[4] Ad-Dardir. Op. Cit, hal. 325.
[5] Ibnu 'Abidin, Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), Jilid V, hal. 339, lihat juga As Sarakhsi, al Mabsut, (Beirut: Dar al Fikr, tt.), Jilid XXI, hal. 63
[6] Asy-Syarbaini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Jilid II, hal. 121
[7] Imam al-Kasani, Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, (Kairo: t.pn, 1969),  Jilid VI, hal. 125 dan lihat juga Ibnu 'abidin. Op.Cit., hal. 340.
[8] Imam al-kasani. Op.Cit., hal. 135
[9] H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. 1, hal.23.