Jumat, 04 Mei 2012

OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BAGI HASIL: SEBAGAI UPAYA MEMBERDAYAKAN UMKM YANG BERKEADILAN

PENDAHULUAN
      Sejarah perkembangan industri perbankan syariah tak terlepas dari keluarnya peraturan tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan sistem bagi hasil di Indonesia, UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabang nya, dan terbitnya UU No 23 tahun 1999. Perkembangan selanjutnya adalah keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang mencapai 300 miliar rupiah. Perkembangan selanjutnya dengan tumbuhnya industri perbankan syariah yang dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia.
Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah; (2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah.(3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll
Berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan  bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah (Muhammad, 2005). Kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudharabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil, return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh sektor riil. Hal ini berarti keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil, Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2007)
Produk Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
Dalam penyaluran produk pembiayaan bagi hasil bank syariah terdapat dua jenis akad, yaitu musyarakah dan mudharabah.
a.       Akad Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Menurut Partahian (2006) Mudharabah adalah adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama) menyediakan modal sepenuhnya sedangkan mudharib (pihak kedua) menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka. Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana usaha yang akan dijalankan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha (Syafii Antonio, 2001).
b.      Akad Musyarakah
Musyarakah adalah adalah perjanjian pembiayaan antara bank Syariah dengan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan dimuka. Untuk itu dapat diberlakukan perjanjian usaha patungan diantara pengusaha. Dalam musyarakah, keuntungan dan kerugian dibagi menurut proporsi yang telah ditentukan sebelumnya, sesuai dengan prinsip Profit and Loss Sharing Principle.
Perbedaan yang mendasar antara  musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi dana atau modal yang disertakan. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak yaitu pihak bank sebagai sahibul mal dengan penyertaan modal 100 persen, sedangkan dalam musyarakah penyertaan modal berasal dari dua pihak atau lebih yang besarnya ditentukan diawal kesepakatan secara bersama.
Realitas Pembiayaan
      Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Dalam statistik perbankan syariah bulan November 2007, porsi produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 58,93 persen dan piutang istishna’ mencapai 1,26 persen, sementara proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 16,06 persen dan pembiayaan mudharabah sebesar 20,49 persen. Selain itu perannya untuk memberdayakan perekonomian ummat secara keseluruhan tidak berjalan dengan optimal, karena pembiayaan masih fokus pada sektor jasa yang cenderung menggunakan skema pembiayaan non-bagi hasil mencapai 31,16 persen sedangkan untuk sektor industri mencapai 4,94 persen, dan sektor pertanian mencapai 2,40 persen.
      Rendahnya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank syariah umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil (Muhammad, 2005) dalam (Akhbar, 2006), sedangkan faktor yang lain adalah masalah yang ditimbulkan karena moral hazard dan adverse selection (khalil, Rickwood, dan Muride, 2000) dalam (Akhbar, 2006). Selain itu rendahnya total asset bank syariah yang market share sebesar 1,77 persen dari perbankan nasional menyebabkan bank syariah harus berhati-hati dalam menyalurkan dananya ke nasabah.
Rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah disebabkan oleh beberapa hal, menurut Muhammad (2005), beberapa alasan yang menjelaskan tingginya prosentase pembiayaan murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah:
 Pertama, Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem bagi hasil, cukup memudahkan.
Kedua, Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis suku bunga yang menjadi saingan bank syariah.
Ketiga, Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem bagi hasil.
Keempat, Murabahah tidak memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
Sedangkan menurut Iman Sugema (2006), menyebutkan bahwa rendahnya pembiayaan bagi hasil terutama disebabkan adanya asymmetric information dan administrative problem (non-standardized accounting, bad debt). Asymmetric information  adalah kondisi yang menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi yang dilakukan agen (pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk moral hazard dan adverse selection. Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah (1999) dalam Ahmad Sumiyanto (2005) mengidentifikasikan faktor- faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang menarik bagi bank syariah antara lain;
Pertama, Sumber dana bank syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menngunakan sistem bagi hasil , hal ini terjadi karena pengusaha beranggapan bahwa kredit dengan menggunakan sistem bunga lebih menguntungkan dengan jumlah perhitungan yang sudah pasti, sehingga pada umum nya yang banyak mengajukan pembiayaan bagi hasil adalah usaha dengan keuntungan yang relatif rendah. Ketiga, pengusaha dengan bisnis yang berisiko rendah enggan meminta pembiayaan bagi hasil, kebanyakan pengusaha yang memilih pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang berbisnis dengan risiko tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, keempat, untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi dan mendorong pengusaha untuk membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Kelima, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan besar.
                Selain itu permasalahan rendahnya pembiayaan bagi hasil  menurut para ahli perbankan[1] dalam (Ascarya, 2005) disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
          a.         Internal bank Syariah
1.      Kualitas Sumbar Daya Insani (SDI) belum memadai untuk menangani proyek bagi hasil.
2.      Bank Syariah belum mampu menanggung resiko besar.
3.      Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan seperti institusi usaha pada umumnya.
4.      Adverse Selection, karena Asymetric Information antara kedua belah pihak.
5.      Tidak adanya Personal Guarantee dan Collateral pada nasabah.
6.      Biaya informasi yang meningkat, terutama untuk pembiyaam mudharabah.
7.      Keterbatasan peran bank sebagai investor, terutama untuk pembiayaan mudharabah.
         b.         Nasabah bank syariah
1.      Sebagian nasabah sudah terbiasa dengan system bunga bank.
2.      Moral hazard, karena pengusaha enggan menyampaikan laporan keuangan/keuntungan sebenarnya untuk menghindari pajak atau bagi hasil.
3.      Permintaan pembiayaan bagi hasil yang masih kecil dari nasabah.
          c.         Regulasi
1.      Kurangnya dukungan dari regulator, karena tidak melakukan inisiatif-inisiatif untuk mengadakan perubahan peraturan dan institusional yang diperlukan untuk mendukung bekerjanya system perbankan syariah dengan baik
2.      Tidak adanya institusi pendukung untuk mendorong penggunaan bagi hasil.
3.      Tidak adanya prosedur operasional yang seragam.
         d.         Pemerintah
1.         Tidak ada kesepahaman dalam aturan-aturan syariah dan proyek-proyek pendukung yang mendorong penggunaan bagi hasil untuk proyek-proyek pemerintah.
2.         Pemberlakuan pajak yang tidak adil pada keuntungan sebagai objek pajak, sedangkan bunga bebas dari pajak.
3.         Pasar sekunder instrumen keuangan syariah belum ada, sehingga bank kesulitan dalam menyalurkan atau mendapatkan akses likuiditas sesuai syariah.
4.         Hak kepemilikan belum jelas, karena pembiayaan PLS memerlukan hak kepemilikan yang jelas dan berlaku efisien.
Selain itu keterbatasan asset bank syariah yaitu sebesar 1,77 persen dari keseluruhan total asset perbankan menyebabkan bank syariah harus lebih berhati-hati dalam melakukan pembiayaan, khususnya pembiayaan bagi hasil sehingga kemampuan berinvestasi bank syariah terhambat.
Menurut Irfan Syauqi Beik, (2006) tingginya pembiayaan non-bagi hasil merupakan kelemahan dari perkembangan pembiayaan bank syariah, karena:
Pertama, skema murabahah, dan juga ijarah, sesungguhnya merupakan fixed return modes, dimana kalau kita mau jujur bahwa yang membedakan secara prinsipil antara bank Islam dan bank konvensional diantaranya adalah terletak pada prinsip risk-profit sharing-nya.
Kedua, skema murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat.
Ketiga, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Selain itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan manajemen risiko.
Tingginya porsi Pembiaayaan berbasis bagi hasil menurut Irfan Syauqi Beik, (2006) mempunyai beberapa keunggulan, yaitu :
Pertama, Pembiayaan musyarakah dan mudharabah akan menggerakkan sektor rill karena pembiayaaan ini bersifat produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Jika investasi di sektor riil  meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kedua, Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensioanal. Nasabah akan membandingkan antara expected rate of return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Dimana selama ini, kecenderungannya rate of return bank syariah lebih tinggi daripada suku bunga bank konvensional. Dengan demikian diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah nasabah di bank syariah. Ketiga, Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank syariah. Keempat, Pola pembiayaan mudharabah dan musyarakah adalah pola pembiayaan berbasis produktif yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan sektor riil sehingga kemungkinan terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi.
Selain itu, dengan mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil bank syariah dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan distribusi pendapatan dan memberdayakan ekonomi masyarakat
Orientasi Ke Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah
Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga. Selain itu faktor ukuran atau skala usaha bank syariah yang tidak sebesar perbankan konvensional membuat bank syariah lebih fokus ke sektor UMKM dengan skala usaha lebih kecil, di lain sisi ketertarikan UMKM memilih sistem pembiayaan syariah terkait dengan ketersediaan kolateral yang tidak seketat konvensional dan sifat gain sharing, risk sharing, lebih menarik bagi UKM. Namun, menurut Isha Ashari (2007) ada beberapa kerakteristik dan ciri khas yang menjadi keunggulan Usaha Mikro Kecil Menengah, yaitu :
Pertama, skala usaha yang kecil memungkinkan untuk beradaptasi dengan cepat dan responsive terhadap lingkungan bisnis yang bergejolak. Kedua, lebih fleksibel, sehingga memiliki lebih banyak peluang untuk berinovasi dan bereksperimen. Ketiga, memiliki banyak sumber keunikan yang berbasis budaya setempat. Keempat, dapat memanfaatkan peluang kecil yang ada. Kelima, mudah untuk bangkit kembali, bila menghadapi kondisi bisnis yang kurang menguntungkan.
Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian ummat apabila mampu mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil dalam penyaluran dananya ke nasabah, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 102,65 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 66,01 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal. Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70 persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang hanya mencapai 30 persen. Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena  jumlah populasi UKM pada 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2 triliun ( www.menkokesra.go.id).




SOLUSI PERMASALAHAN
            Upaya untuk mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Menurut Muhammad Imadudin (2005), upaya untuk mengoptimalkan mudharabah pada bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah:
Pertama, Kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha tersebut.
Kedua, Pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Industrialisasi adalah salah satu kunci penting bagi negara kita untuk dapat survive di saat krisis seperti ini, dan melatih bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.
Ketiga, Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip syariah.
Terkait dengan masalah Asimetric information, Presley & Session mengenalkan konsep incentive-compatible constraint yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama, higher stake of net worth, kedua hight operating risk firms have higher leverage, ketiga lower fraction of unobservable cash-flow; dan keempat  lower fraction of non-controllable cost.
Model ini diadopsi oleh Karim (2000) dalam Muhammad (2005) untuk mengendalikan penerapan pembiayaan mudharabah di Bank Muammalat Indonesia dengan mengurangi kemungkinan terjadinya risiko asimetric information dengan menerapkan batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib, yaitu: pertama, menerapkan batasan agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan atau mengenakan jaminan.
Kedua, menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah, Ketiga, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan, Keempat, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrol nya rendah.
Menurut Ahmad Sumiyanto (2005) model-model untuk mengurangi risiko asimetric information tersebut diatas  dapat dijelaskan secara lebih detail yaitu;
1.      Higher Stake In Net Worth, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; (1) penetapan praktiknya : syarat yang dapat diterapkan apabila porsi modal mudharib dalam suatu usaha lebih tinggi, insentifnya untuk berlaku berlaku tidak jujur akan berkurang dengan signifikan, karena pengusaha juga akan menanggung kerugian atas tindakannya. (2) penetapan agunan berupa fixed asset pengenaan jaminan juga akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikan itu menjadi harga dari penyelewengan perilakunya (character risk). (3) penggunaan pihak penjamin; seringkali bank sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib, oleh karena itu bank dapat meminta agar calon mudharib menyediakan pihak penjamin yang mengenal calon mudharib, dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon mudharib. (4) penggunaan pihak pengambil alih utang: Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang disebabkan character risk calon mudharib.
2.      Lower Operating Risk, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; penetapan rasio maksimal fixed asset terhadap total asset, hal ini dimaksudkan agar dana mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan.
3.      Unobservable Cash Flow, dalam praktik syarat dapat diterapkan berupa;
Pertama, monitoring secara acak atau inspeksi secara mendadak karena bisnis mudharib arus kas nya tidak dapat diketahui secara transparan oleh pemilik dana. Metode ini biasanya di terapkan pada; (1) bisnis yang skala usahanya tidak cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik, (2) bisnis yang musiman atau berjangka pendek. Kedua, monitoring secara periodik, Dalam metode ini, mudharib di dorong untuk menyiapkan laporan periodik atas bisnis yang di biayai oleh dana mudharabah. Ketiga, melibatkan pihak ketiga sebagai auditor  yang akan memeriksa kebenaran laporan keuangannya.
4.      Non-controllable Cost, dalam praktiknya syarat yang diterapkan adalah;
(1)   Revenue sharing, metode ini dilakukan untuk mengurangi timbulnya perselisihan terutama atas biaya-biaya yang timbul. (2) Penetapan minimal profit marjin; metode ini di lakukan untuk mengantisipasi adanya indikasi bahwa mudharib lebih mementingkan volume penjualan yang besar dengan mengorbankan tingkat profit marjinnya sehingga dapat merugikan pihak bank sebagai pemilik dana.
Penerapan manajemen risiko merupakan salah satu upaya untuk mengotimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Penerapan manajemen risiko ini terkait untuk mengantisipasi berbagai macam risiko yang potensial akan muncul dalam pembiayaan bagi hasil, diantaranya risiko kredit, dan risiko pasar (tekait usaha yang dibiayai).
Menurut Muhammad (2005) penerapan manajemen risiko dapat diawali dengan melakukan penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang dibiayai, karena manajemen pembiayaan bank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan proyek yang akan dibiayai. Menurut Muhammad (2005), risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek; (I) faktor skill, meliputi kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko bisnis, mampu melakukan usaha yang berkelanjutan, mampu mengartikulasi bahasa bisnis. (II) faktor reputasi, meliputi track-recod baik sebagai karyawan, direkomendasikan sumber terpercaya, memiliki jaminan usaha. (III) faktor asal usul, meliputi memiliki hubungan keluarga atau persahabatan dengan investor, sebagai pebisnis yang sukses, berasal dari kelas social terpandang. Sementara itu risiko terhadap proyek atau usaha terjadi karena ; pertama, kemungkinan terjadinya kebangkrutan bisnis dan yang kedua adalah jaminan yang diberikan oleh nasabah atas besarnya pembiayaan yang terima.
Sedangkan untuk meminimalisasi risiko asimetric information dan menekan biaya monitoring pada pembiayaan bagi hasil ke sektor UMKM, bank syariah dapat melakukan pola kemitraan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yaitu dengan menggunakan model Lingkage Program yang sudah di kenalkan oleh Bank Indonesia, Model Lingkage Program ini terdiri dari Executing (Pembiayaan ke LKMS dengan equity financing), Join Financing (pembiayaan bersama), atau Channeling. Pola kemitraan dengan Lembaga keuangan mikro ini di lakukan karena lembaga keuangan mikro (BPRS, Koperasi Syariah, BMT) yang tersebar di seluruh pelosok wilayah lebih mengenal kebutuhan jasa keuangan, karakter, adat istiadat dan sifat nasabah setempat, khususnya UMKM sehingga potensi munculnya risiko kredit macet dapat di tekan, selain itu dengan pola kemitraan ini diharapkan dapat menekan biaya monitoring perbankan, karena lembaga keuangan mikro dapat berperan sebagai auditor atau pengawas dan pendamping  usaha nasabah dengan efektif dan efisien, karena letak usahanya lebih dekat dengan tempat usaha nasabah yang di biayai.
Menurut Ascarya (2005) alternatif solusi untuk pemecahan masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil bank syariah terdapat beberapa macam alternatif, yaitu :
a.       Internal bank syariah
1.      Peningkatan jumlah dan pemahaman/kualitas Sumber Daya Insani bank syariah
2.      Pengembangan Produk yang menarik, aplikatif dan simpel  
b.      Nasabah bank syariah
Sosialisasi perbankan syariah dan produknya ke masyarakat
c.       Pemerintah dan Regulasi
1.      Revisi semua regulasi yang kurang mendukung, memberlakukan system insentif, dan atau menerapkan regulasi tegas
2.      Menata kembali fungsi, struktur, dan hubungan DSN, DPS, BI (konsultan, jika memungkinkan) agar tercipta sinergi yang harmonis.
Sedangkan menurut Muhammad Imaduddin (2005) dalam (Republika Online, 2007) terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan bank syariah dalam mengembangkan produk bagi hasil, yang intinya bekerjasama dengan pihak lain dalam menanggung risiko, antara lain:
1.        Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah dan mudharabah.
2.        Melibatkan  LAZ yang amanah dan profesional sebagai penjamin usaha nasabah.
3.        Bank syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan baik prospeknya untuk dikembangkan, tidak hanya sekedar ada jaminan saja yang layak dikembangkan.
4.        Bank syariah juga sebaiknya memiliki jiwa entrepreneurship , artinya, mereka juga harus memiliki jiwa pengusaha yang berani mengambil risiko sesuai kemampuan.
Ketersediaan asset bank syariah ternyata berhubungan positif dengan tingkat penyaluran produk pembiayaan bagi hasil kepada nasabah. Oleh karena itu, dengan kondisi tingkat Suku bunga sekarang ini yang terus turun pada kisaran 8 persen, sebenarnya merupakan momentum yang tepat bagi bank syariah untuk meningkatkan jumlah assetnya melalui penghimpunan dana dari nasabah, karena bank syariah dapat memberikan expected rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan interest rate bank konvensional. Upaya peningkatan asset bank syariah juga dapat ditempuh melalui peningkatan akses pelayanan bank syariah yang lebih luas ke masyarakat yang dapat dilakukan melalui pembukaan kantor cabang baru beserta infrasruktur pendukung nya. Sehingga dengan peningkatan jumlah asset yang memadai, bank syariah lebih fleksibel dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil untuk memberdayakan UMKM dan berani mengambil risiko dalam melakukan pembiayaan usaha. Selain itu untuk mengatasi permasalahan ketidakcocokan (mistmatch) dana bank syariah, yaitu sumber dana yang bersifat jangka pendek sedangkan dana nya digunakan untuk membiayai proyek bagi hasil yang cenderung bersifat jangka panjang maka diperlukannya suatu hubungan kemitraan dengan lembaga keuangan lain, dalam hal ini peran perusahaan asuransi dan pengelola dana pensiun syariah dapat dijadikan sebuah solusi. Hal ini karena sumber dana asuransi dan dana pensiun yang bersifat jangka panjang sehingga dana masyarakat yang dikumpulkan dapat digunakan untuk pembiayaan proyek bagi hasil dengan mekanisme Join Financing maupun melalui instrumen obligasi yang di terbitkan bank syariah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1.      Berdasarkan prinsip dasar produknya, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan yang berprinsip bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Pembiayaan ini bersifat produktif karena di investasikan untuk penyediaan modal kerja sehingga dapat memberdayakan perekonomian ummat yang mencerminkan prinsip keadilan melalui pembukaan lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakan dan mengurangi tingkat pengangguran.
2.      Pengembangan industri perbankan syariah kedepan seharusnya tidak hanya dilihat dari pertumbuhan jumlah total asset nya saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat, hal ini dapat tercapai apabila bank syariah tetap berpegang kepada produk yang telah menjadi ciri khasnya yaitu musyarakah dan mudharabah dengan tanpa adanya jaminan karena pada prinsip nya pembiayaan bagi hasil bersifat trust financing
3.      Pembiayaan bagi hasil dapat memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan sektor riil, khususnya UMKM yang menjadi indikator kemajuan roda perekonomian negara melalui kegiatan investasi
4.        Rendahya porsi pembiayaan bagi hasil di bank syariah di Indonesia dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu rendahnya jumlah dan tingkat kualitas Sumber Daya Insani di bank syariah untuk menangani pembiayaan proyek yang berprinsip  bagi hasil serta tingginya risiko yang ada pada pembiayaan bagi hasil.


Saran
1.        Diperlukan sosialisasi yang menyeluruh tentang produk perbankan syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan pembiayaan bagi hasil dapat dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan layanan bank syariah.
2.        Diperlukan semacam apresiasi dan insentif kepada bank syariah yang efektif menyalurkan produk pembiayaan bagi hasil melalui penilaian kinerja, maupun insentif yang berupa pemotongan pajak bagi hasil keuntungan.
3.        Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang paham tentang perbankan syariah yang mampu menangani proyek-proyek bagi hasil, karena selama ini proyek-proyek yang dibiayai oleh bank syariah adalah yang bergerak di sektor jasa, perdagangan, perhotelan yang cenderung menggunakan mekanisme pembiayaan non bagi hasil.

DAFTAR  PUSTAKA
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia.
Akhbar, Burhan. 2006. Sinergisme Konsep Corporate Governance dan Konsep Distribusi Nila Tambah Dalam Upaya Meminimalisasi Permasalahan Agensi Pada Pembiayaan Mudharabah. Karya Tulis disampaikan pada LKTI Temu Ilmiah Nasional Universitas Jenderal Soedirman.
Sumiyanto, Ahmad. 2005. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah. Yogyakarta : Magistra Insania Press.
Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Sugema, Iman. 2007. Islamic Banking: The Fact and Challenges. Makalah disampaikan dalam SEconD 2007. Jakarta: Forum Studi Islam FE UI 13 Feb 2007
Diana Yumanita, Ascarya. 2005. Mencari Solusi Rendahya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan  Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan November 2007. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah tahun 2006 . Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia
Partahian Lase, Risanto. 2006. Laporan Pengenalan Bisnis PT Bank Mandiri. Yogyakarta: UKI Yogyakarta.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Bank Syariah Sang Enterpreneur. Inggris: Leicestershire. dalam www.pesantrenvirutal.com.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Mudharabah dan Optimalisasi Sektor Riil, dalam www.republika.co.id.
Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.
Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007.
Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam www.bisnis.com.
Ashari, Isa. 2007. Kebijakan Pemerintah (Dinas Perindustrian Perdagangan Penanaman Modal Kota Magelang) dalam Memberdayakan UMKM dan Ekonomi Islam. Makalah disampaikan dalam Seminar Musyawarah Regional 2007. Magelang: LSEI Universitas Muhammadiyah Magelang 30 Juni 2007.
Republika.co.id. 2005. situs resmi harian Republika.
http://www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/


[1]Diantaranya Chapra (2000), Iqbal dan Llewllyn (2002), Mulyawan (2001), Al-jarhi (2002), Parinduri (2003),Algaoud dan Lewis (2003) 

Hukum Pidana Ekonomi

A.    Tindak pidana pasar modal
Pengertian tindak pasar modal
Menurut kamus hukum.com, kejahatan pasar modal ( capital market crime / securities fraud ) adalah segala pelanggaran hukum yang ada hubungannya denganpasar modal baik pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal itu sendiri, maupun pelanggaran peraturan perundang-undangan di luar bidang pasar modal tetapi perbuatan tersebut ada kaitannya dengan pasar modal.  Jadi tindak pidana pasarmodal juga bisa dikaitkan dengan tindak pidana di luar ketentuan pidana pasar modal. Mungkin saja tindak pidana seperti manipulasi transaksi, pencucian uang, perdagangandengan informasi illegal dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan korupsi sehinggapenegakan hukumnya akan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Serupa dengan KUHP, tindak pidana pasar modal terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Yang membedakan keduanya juga sama, yaknib esaran mengenai berat dari ancaman hukuman yang dijatuhkan. Di pasal 110 disebutkan mana saja yang termasuk tindak pidana pelanggaran dan mana saja yang termasuk tindakpidana kejahatan.Praktik curang dan tindak pidana di pasar modal merupakan perilaku yang dilarang serta diancam dengan hukuman administratif dan pidana. Di dalam Undang-Undang PasarModal, ketentuan pidana diatur di dalam pasal 103 s.d. 110. Penegakan hukum atas tindak pidana ini sangat bergantung pada kepastian hukum yang dijalankan oleh otoritas pasar dan juga self regulatory organization (SRO) yang diberikan kewenangan dalam menetapkan dan menjalankan sanksi hukuman kepada pihak yang melakukan praktik yang bertentangandengan ketentuan yang ada.
Upaya-Upaya Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Pasar Modal
Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pasar modal bisa menjadi sangat luasbagi perekonomian negara. Pemerintah dan institusi yang terkait dengan operasi kegiatan dipasar modal harus berani mangambil langkah baik itu prevetif maupun reaktif dalammencegah dan menangani tindak pidana pelanggaran dan kejahatan di pasar modal.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pencegahan kejahatan pasarmodal harus terus dilakukan dan jangan sampai rakyat dan pemerintah dirugikan. Berikut iniadalah upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah dan institusi terkait untukmencegah dan menangani tindak pidana pasar modal:
1.      Senantiasa menyempurnakan sistem perdagangan dengan mengutamakan transparansidengan didukung oleh sistem pengawasan yang canggih.Tindak pidana di pasar modal dapat mengakibatkan terjadinya kekacauan.
Terjadinya penipuan seperti fraud, scam dapat ditanggulangi dengan sistem pengawasanyang canggih. Chairman of Karvy Consultants, Mr. C. Parthasarathy (2005) mengatakan bahwa “Indian capital markets now have superior and highly transparent trading systemsaccompanied by sophisticated surveillance.” Sistem perdagangan yang transparan danpengawasan yang canggih diharapkan mampu mencegah terjadinya tindak kejahatan pasarmodal dan mengidentifikasi terjadinya tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dengancepat dan tepat.
2.      Segera mewujudkan aman demen atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentangPasar Modal terutama mengenai perluasan kewenangan yang dimiliki oleh penyidikBapepam-LK dan besaran ancaman sanksi pidana.
Penyelesaian kasus tindak pidana pasar modal oleh Bapepam-LK seringkaliterkendala dalam hal pembuktian kasus karena kurangnya wewenang yang dimiliki oleh penyidik dalam pemeriksaan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran maupun kejahatanpasar modal. Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK, Sardjito, memberikancontoh perluasan kewenangan penyidik antara lain kewenangan untuk melakukanpemeriksaan saluran telepon. Sardjito mengemukakan bahwa banyak kasus yang tidak dapat diungkap karena Bapepam tidak memiliki kewenangan tersebut. Selain itu kewenangan untuk mengakses rekening perbankan juga dibutuhkan untuk menangani berbagai kejahatanpasar modal. Saat ini Bapepam-LK hanya bisa mengakses rekening perbankan jikamendapatkan putusan tetap dari pengadilan. Hal tersebut tidak efektif dan memakan waktu.Kesulitan mengakses rekening bank sering menjadi senjata pelaku kejahatan pasar modaluntuk menyembunyikan hasil jarahannya ke dalam rekening yang berbeda-beda.
3.      Peningkatan profesionalitas dari regulator, self regulatory organization, dan para pelakupasar secara berkesinambungan.
Upaya peningkatan profesionalitas yang dapat ditempuh oleh regulator, SRO, danpelaku pasar lainnya sangat beragam. Bapepam-LK harus meningkatkan koordinasi baikdalam tubuh Bapepam-LK maupun dengan lembaga terkait penegakkan hukum sepertiKepolisian, KPK, dan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Hendarman Supanji mengatakan kepadaVivanews bahwa pelanggaran terkait dengan saham meskipun telah ada aturan tersendirinamun tidak menutup kemungkinan diperkarakan secara hukum jika terbukti melanggarhukum baik formal maupun material.
Bapepam juga perlu untuk mengoptimalisasi penanganan pengaduan karenaBapepam-LK merupakan otoritas yang mengawasi kegiatan di pasar modal. Bapepam-LK jugaharus meningkatkan kemampuan dan keahlian sumber daya penegak hukum yangdimilikinya. Profesionalitas Bapepam-LK sebagai otoritas pengawas pasar modal pada dasarnya tercermin dalam bentuk ketegasan penegakkan hukum atas tindak pidana pasarmodal. Selama ini Bapepam-LK dinilai masih lemah dalam hal kemampuan penegakanhukumnya.
Badan regulator, SRO dan para pelaku pasar harus senantiasa mengintegrasikandan mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam institusinyaketika melaksanakan kegiatannya di pasar modal. Sebuah program edukasi berkelanjutanterkait profesi mereka harus dilakukan untuk menjaga profesionalitas para pelaku pasarmodal.
4.      Bapepam-LK harus terus proaktif melakukan investigasi indikasi kejahatan pasar modal.
Ucok Ritonga dalam Tempo Interaktif Online menyebutkan bahwa kalau ingin pasarmodal Indonesia maju, maka Bapepam harus proaktif melakukan investigasi indikasi kejahatan di pasar modal. Goei Siauw Hong (2002) membandingkan Bapepam dengan SECdimana SEC sangat tanggap terhadap indikasi pelanggaran dimana SEC berhasil membongkarkasus Enron dan General Electric. Bapepam-LK sebagai otoritas pengawas, pembimbing,pembina pasar modal harus cepat tanggap dalam menangani indikasi kejahatan yang terjadidi pasar modal.
5.      Menerapkan civil penalty.
T. Mulya Lubis mengatakan bahwa Bapepam-LK seringkali mengalami dilemmaapakah akan memberikan sanksi administratif atau sanksi pidana. Sanksi administratif dapatdilihat sebagai sikap yang kurang tegas terhadap pelanggar peraturan perundang-undangandi bidang pasar modal, terutama yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggarnya.Akan tetapi, di sisi lain, sanksi administratif dapat dilihat sebagai cara mendapatkan quick win, karena prosesnya terbilang cepat. Penerapan sanksi pidana dapat dilihat sebagailangkah tegas dan diharapkan dapat menimbulkan efek jera yang tinggi. Akan tetapi, jikatingkat keberhasilannya rendah, efek jera yang menyertai sanksi pidana menjadi tidakefektif.
Penerapan civil penalty diharapkan meningkatkan keberhasilan menghukum pelakukejahatan kerah putih karena standar pembuktian lebih rendah, daripada standarpembuktian dalam hukum pidana. Selain itu diharapkan, civil penalty  dapat menimbulkanefek jera karena umumnya jumlah denda (penalti) bisa sangat besar. Mengingat problemyang dihadapi Bapepam-LK dalam menindaklanjuti penyidikan pelanggaran pasar modal,mungkin perlu dipertimbangkan penerapan ketentuan mirip civil penalty dalam sistemhukum pasar modal nasional.

B.     Tindak pidana pencucian uang
Pengartian Tindak pidana pencucian uang
Secara etimologis money laundering terdiri dari kata money yang berarti uang dan laundering yang berarti pencucian. Jadi money laundering adalah pencucian uang. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana pencucian Uang menyatakan bahwa :
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harata Kekayaan yang sah.”
Sesuai dengan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana yang memicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius, baik terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar. Tindak pidana pencucian uang merupakan organized crime sehingga penangulangannya merupakan tanggungjawab negara per negara yang diwujudkan dalam kerjasama regional atau internasional melalui forum bilateral dan multilateral.
Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang
1.      Saat ini berkembang pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak pidana mengubah dana hasil tindak pidana dari “kotor” menjadi “bersih” dan menyita hasil tindak pidana tersebut merupakan cara yang efektif untuk memerangi tindak pidana itu sendiri. Hal ini karena kekayaan hasil tindak pidana selain merupakan darah yang menghidupi tindak pidana (life blood of the crimes), juga merupakan mata rantai yang paling lemah dari keseluruhan proses kegiatan tindak pidana.
2.      Kemampuan mencuci uang hasil tindak pidana melalui sistem keuangan merupakan hal yang sangat vital untuk suksesnya kegiatan kriminal, sehingga setiap pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut akan memanfaatkan kelemahan (loop-holes) yang terdapat pada sistem keuangan. Penggunaan sistem keuangan sebagai sarana tindak pidana pencucian uang mempunyai potensi meningkatkan risiko bagi PJK secara individual, yang pada akhirnya juga dapat meruntuhkan integritas dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin meningkatnya integrasi antar sistem keuangan dunia dan berkurangnya hambatan dalam perpindahan arus dana, akan memperbesar peluang praktik pencucian uang dalam skala global sehingga mempersulit upaya pelacakannya.
3.      Setiap PJK yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang akan menanggung risiko dituntut, kehilangan reputasi pasar, yang dapat berakibat merusak reputasi Indonesia sebagai negara/wilayah yang aman dan dapat dipercaya bagi investor.
4.      Pencucian uang sering hanya dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kedit atau pedagang valuta asing. Perlu juga diketahui bahwa selain produk tradisional perbankan seperti tabungan/deposito, transfer serta kredit/pembiayaan, produk dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga keuangan lainnya dan lembaga non keuangan juga menarik bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai sarana pencucian uang. Lembaga keuangan maupun lembaga non keuangan lain yang sering digunakan oleh pencuci uang, dengan melibatkan banyak pihak lain tanpa disadari oleh yang bersangkutan, antara lain:
·         Perusahaan Efek yang melakukan fungsi sebagai Perantara Pedagang Efek
·         Perusahaan Asuransi dan Broker Asuransi
·         Money broker
·         Dana Pensiun dan Perusahaan Pembiayaan
·         Akuntan, Pengacara dan Notaris
·         Surveyor dan agen real estat
·         Kasino dan permainan judi lainnya
·         Pedagang logam mulia

C.     Tindak pidana kejahatan perbankan
Pengertian Tindak Pidana Bank
Pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan ialah tindak pidana yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainya. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang hanya diatur dalam undang-undang perbankan, yang sifatnya interen. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pengertian tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan tidak perlu dibedakan mengingat tindak pidana perbankan merupakan kejahatan atau delik umum yang dilakukan di dalam lembaga perbankan. Menurut Moch. Anwar dalam bukunya yang berjudul ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan” juga membedakan pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan. Perbedaan tersebut didasarkan pada perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Selanjutnya dikatakan bahwa tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Tidak Pidana di bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, terhadap perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992, seperti KUHP, Peraturan Hukum Pidana Khusus, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, Undang-Undang Nomor 11 PNPS tahun 1963, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa.
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan terdapat dua pengertian yaitu :
1.      Tindak pidana perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
2.      Tindak Pidana di bidang Perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan , KUHP dan Peraturan Hukum Pidana Khusus seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 11 PNPS tahun 1963 tentang Subversi dan Undang-Undang Nomor 7 Drt 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Dalam hal kejahatan di bidang lalu lintas pembayaran giral dan peredaran uang, maka untuk pemalsuan warkat bank dapat digunakan Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat) atau dalam tindak pidana di bidang perbankan yang bersifat penipuan dapat digunakan Pasal 378 KUHP. Ketentuan-ketentuan ini perlu dibedakan dalam UU Pokok Bank karena yang terakhir ini secara khusus memuat larangan-larangan dalam usaha perbankan ,yaitu yang menyangkut izin usaha dan ketentuan tentang keuangan nasabah. Menurut Prof. Sudarto menyebutkan Undang-Undang Pokok Perbankan dapat digolongkan dalam peraturan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang memuat sanksi-sanksi pidana. Peraturan perundang-undangan ini harus dibedakan dengan Undang-Undang yang menurut hukum pidana khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Ketiga undang-undang ini dapat dikatakan sebagai undang-undang tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana subversi. Oleh karena itu, Undang-undang tentang Pokok-Pokok Perbankan dapat juga dikatakan sebagai undang-undang tindak pidana di bidang perbankan.
Hukum Pidana harus memberikan perlindungan terhadap korban perbuatan tersebut. Meskipun ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam hal ini masih terbatas. Tindak Pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengankegiatan dalam menjalankan usaha bank,baik bank sebagai sasaran maupun sarana. Tindak Pidana Perbankan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank. Tindak Pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dimana para pelanggar dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang itu. Istilah tindak pidana perbankan menunjuk bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dalam menjalankan fungsi dan usahanya sebagai bank berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992. Tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana korporasi karena lebih menekankan pada suatu tinjauan kriminologis, dengan tujuan dapat merangsang pemikiran dalam mengembangkan konsep-konsep tindak pidana korporasi.
Walaupun hal ini tidak digolongkan sebagai tindak pidana di bidang oerbankan tetapi dapat dirasakan sebagai perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi perekonomian masyarakat. Dalam praktik sehari-hari terdapt banyak penyimpangan yang dilakukan oleh bank dalam bentuk lain, yang secara kronologis dapat dikategorikan dalam pengertian criminal behaviour dalam konsep white collar crime.

Menurut Riyanto, S.H menyebutkan antara lain :
a.       Window dressing, yaitu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia secara periodik dengan data yang kurang benar, sehingga bank pelapor terlihat keadaan keuangan/assetnya baik. Hal ini merupakan usaha bank agar menjelang periode laporan jumlah assetnya meningkat, dengan maksud agar penampilan bank menjadi lebih baik dan lebih bonafide di mata masyarakat.
b.      Menetapkan tingkat bunga yang berlebihan yang bertujuan menarik dana masyarakat sebanyak mungkin.
c.        memberikan kemudahan dalam pemberian kredit dengan tidak disertai pertimbangan atau penilaian yang wajar dalam dunia bisnis perbankan.
Perbuatan tersebut di atas pada dasarnya dapat merupakan penyimpangan kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank.

Mencegah kejahatan perbankan
Menciptakan internal kontrol yang bagus adalah salah satu langkah yang bisa ditempuh bank dalam mencegah terjadinya fraud. Masih ada enam langkah lain. Segera gulirkan program pencegahan fraud yang detail dan lengkap sesuai dengan kondisi bank.
Kita semua berharap, fraud (kejahatan) pada sistem perbankan kita setidaknya mereda. Sebab, memang, fraud tidak mungkin bisa dihilangkan hingga nihil. Tapi, tentu, harapan berkurangnya fraud ini sangat bergantung pada kesiapan masing-masing bank untuk mencegahnya. Untuk itu, jelas, perlu aksi, bukan hanya omong doang.
Tidak ada pihak yang menang jika terjadi fraud: bank merugi dan para penjahat bank pun paling banter merasakan kesenangan untuk sementara waktu. Dengan catatan, pemerintahan sungguh-sungguh membongkar kasus demi kasus yang tidak mengenakkan hati dan membuat bising telinga. Jelas, perlu aksi yang konkret, bukan hanya janji surga tanpa tindak lanjut.
Not everyone is honest, sebuah fakta yang menyedihkan. Pada kondisi integritas yang rendah, kontrol yang lemah, akuntabilitas yang rendah, dan tekanan yang tinggi, peluang seseorang menjadi tidak jujur akan makin besar. Dan, bank-bank kita saat ini dihadapkan pada dua pilihan sederhana: menciptakan lingkungan dengan potensi fraud yang rendah (low fraud environment) atau menyusul bobolnya bank-bank terdahulu.
Low fraud environment bisa diciptakan dengan adanya dukungan dari budaya kejujuran yang tinggi, keterbukaan, dan program khusus bantuan kepada personel. Untuk menciptakan dukungan tersebut, paling tidak, bank harus mempekerjakan orang-orang yang jujur dan selalu memberikan pelatihan kepada mereka mengenai kesadaran akan fraud, menciptakan lingkungan kerja yang positif, membuat dan melakukan diseminasi atas kode perilaku yang gampang dimengerti, serta membuat program bantuan kepada para personel.
Berdasarkan teori fraud triangle (segitiga kecurangan), tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi yang datang secara bersamaan akan memperbesar peluang terjadinya fraud. Tapi, jika salah satu saja dari elemen segitiga tersebut hilang, fraud tidak akan terjadi. Pada sisi bank, menghilangkan kesempatan terjadinya fraud adalah yang paling mungkin ditindaklanjuti. Nah, berikut sumbang saran bagi bank-bank lokal perihal usaha yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya fraud di bank Anda.
Pertama, yang sudah sering disebut-sebut, ciptakan kontrol internal yang bagus. Kontrol internal yang bagus, paling tidak, harus mencakup kontrol lingkungan yang bagus, sistem akuntansi yang bagus, dan kontrol prosedur (aktivitas) yang juga bagus. Becermin dari sebuah pernyataan Committee of Sponsoring Organization (COSO): the control environment sets the tone of the organization, and is largely responsible for employees being conscious (and therefore vigilant) about controls.
Kuncinya, kontrol lingkungan harus mencakup integritas; nilai etika dan kompetensi sumber daya manusia (SDM); gaya dan filosofi manajemen; gaya manajemen dalam mengalokasikan wewenang, tanggung jawab, dan pengembangan SDM; serta perhatian dan arahan dewan direksi.
Sementara, sistem akuntansi yang bagus harus memberikan informasi yang benar, lengkap, dan tepat waktu. Kontrol prosedur yang bagus harus mencakup kontrol fisik atas aset-aset, otorisasi yang tepat, segregasi tugas, pengecekan independen, dan dokumentasi yang lengkap.
Perlu dicermati, tidak ada sistem kontrol internal yang kebal terhadap fraud serta efektivitasnya akan sangat bergantung pada kompetensi orang-orang di bank yang harus memastikan pelaksanaan internal kontrol yang tepat dan solid. Sistem kontrol internal hanyalah salah satu elemen program pencegahan fraud yang komprehensif.
Kedua, membangun rintangan bagi terjadinya kolusi. Jika fraud terjadi disertai dengan kolusi, akan lebih sulit untuk bisa mendeteksinya. Dan, karena kolusi biasanya dibangun dalam waktu yang tidak singkat, cara yang jitu adalah merotasi personel (job transfer) secara periodik.
Ketiga, memberikan informasi kepada nasabah mengenai kebijakan bank. Contoh gampangnya adalah perilaku suap untuk memperoleh kucuran dana. Bank bisa membuat surat secara periodik kepada nasabah terkait yang menjelaskan mengenai kebijakan perusahaan yang tidak menerima segala jenis suap atau hadiah.
Bank juga bisa memberikan syarat bahwa bank memiliki hak yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk mengaudit laporan keuangan nasabah yang memperoleh pinjaman. Hal ini juga diharapkan akan mengurangi niat nasabah melakukan kecurangan.
Keempat, pengawasan personel. Para pelaku fraud biasanya menggunakan hasil jarahannya untuk mendukung gaya hidup yang mahal. Dengan mengawasi gaya hidup setiap personel dan fasilitas-fasilitas pribadi di sekelilingnya, bank bisa melakukan langkah pencegahan. Sebab, para personel yang berpotensi melakukan fraud seakan-seakan merasakan terus diawasi.
Kelima, buat jalur khusus pelaporan fraud (tips hotline). Secanggih apa pun fraud dilakukan, sering kali fraud bisa ditemukan melalui tips. Ketika seorang personel merasakan bahwa rekan kerjanya atau pihak lain memiliki cara yang sangat mudah untuk melaporkan terjadinya fraud, hal ini akan mengurangi niat melakukan fraud itu sendiri. Takut dilaporkan!
Keenam, menciptakan ekspektasi atas hukuman. Ketakutan akan hukuman jelas akan mengurangi perilaku tidak jujur. Hukuman yang tegas dan konsisten akan membuat para personel berpikir seribu kali sebelum memastikan siap terlibat melakukan fraud. Kalau hanya diberhentikan, terkadang tidak cukup kuat untuk mencegah fraud. Hukuman yang lebih berarti, misalnya, memberi tahu kepada keluarga atau orang-orang terdekat mengenai perilaku tidak jujur yang dilakukan seorang personel.
Ketujuh, proactive fraud auditing. Sering kali, investigasi terhadap fraud dilakukan setelah ada korban, yang artinya bersifat reaktif. Audit yang bersifat pro-aktif diharapkan akan membangun kesadaran para personel bahwa apa yang mereka lakukan setiap saat bisa saja “di-review”. Hal ini akan memberikan para personel rasa takut akan tertangkap jika melakukan fraud, sehingga diharapkan akan mengurangi perilaku kecurangan di bank.

D.    Persaingan usaha tidak sehat
Pengertian Persaingan usaha tidak sehat
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankankegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan caratidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Cara Mengatasi Persaingan Tidak Sehat
“Manajemen Yang Cerdas Tidak Hanya Akan Fokus Pada Hasil Yang Ingin Dicapai, Tapi Juga Akan Fokus Kepada Kualitas Dari Orang-Orang Yang Terlibat Dalam Pencapaian Hasil Tersebut.” – Djajendra
Sering sekali manajemen hanya akan fokus kepada hasil akhir dari kinerja yang ingin dicapai, tanpa mau memperhatikan kekuatan daya tahan mental dan mind set dari para karyawan yang diberi target tersebut. Padahal, kepuasan kerja dari para karyawan harus menjadi prioritas penting dalam mewujudkan kualitas kerja terbaik, sebab, saat karyawan merasa terlindungi dan diperhatikan oleh perusahaan, maka si karyawan akan bekerja dengan sepenuh hati untuk memberikan kualitas kerja terbaik kepada perusahaan.
Manajemen yang baik tidak hanya akan fokus kepada target dan hasil akhir, tapi juga akan fokus kepada pengembangan kualitas kompetensi dan daya tahan karyawan dalam menghadapi setiap tantangan pekerjaan.
Secara visi, perusahaan akan merencanakan target-target besar yang harus dicapai oleh manajemen. Dan oleh manajemen, target-target besar tersebut akan dirinci dalam bentuk yang lebih kecil dan lebih terfokus untuk dikerjakan oleh masing-masing unit kerja dan individu.
Dalam semua proses ini, perusahaan dan manajemen hanya akan fokus kepada hasil akhir melalui instrumen target. Dan, sangat langka bahwa perusahaan dan manajemen mau memperhatikan secara terfokus kepada daya tahan dan kemampuan unit kerja atau individu dalam meraih keberhasilan atas setiap target. Hal ini akan menghasilkan persaingan tidak sehat diantara karyawan di dalam perusahaan, yang membuat setiap orang di perusahaan lupa bahwa mereka merupakan bagian dari sistem organisasi perusahaan yang kompleks dan lebih besar. Untuk menghindari persaingan tidak sehat di dalam perusahaan, manajemen wajib membangun mind set positif dari para karyawan, agar para karyawan selalu disiplin diri untuk fokus dalam mengerjakan fungsi dan peran kerjanya dengan kualitas kerja individu yang profesional dan beretika. Semua ini harus diarahkan untuk tujuan membangun kekuatan manajemen yang solid dalam sebuah kesadaran tanggung jawab besar buat kepentingan perusahaan secara total di setiap situasi dan kondisi.
Jika manajemen dan perusahaan membiarkan orang-orangnya terlibat dalam perdebatan dan persaingan tidak sehat demi sebuah target bisnis, maka yang unggul adalah kepentingan ego dari masing-masing individu dan unit kerja di perusahaan. Kekuatan ego akan mengurangi sikap rendah hati dan sikap saling membantu di dalam perusahaan, yang ada hanyalah kompetisi siapa menang, siapa kalah. Kondisi ini pada akhirnya hanya akan memperlemah kerja sama antar unit kerja dan antar individu di perusahaan, termasuk akan perginya orang-orang terbaik ke perusahaan lain.
Sikap rendah hati dari perusahaan, manajemen, dan karyawan, yang dilandasi oleh keterampilan yang hebat dengan daya juang yang tinggi, adalah sikap yang akan memperkuat fondasi perusahaan untuk menjalankan visinya secara profesional.
Setiap orang diperusahaan harus dilatih secara terus-menerus untuk meningkatkan kualitas diri, agar para individu mampu melihat organisasi dan bisnis perusahaan sebagai kepentingan diri si individu, untuk kemudian memfokuskan semua keterampilan dan potensi diri buat mengerjakan semua tujuan jangka pendek sampai dengan semua tujuan jangka panjang perusahaan dengan prestasi terbaik.
Manajemen harus selalu berorientasi kepada keberhasilan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, dengan cara memfokuskan semua karyawan untuk mempersiapkan diri, dengan kualitas kompetensi dan daya tahan mental dalam upaya mencapai target-target di setiap jangka waktu tersebut.
E.     Praktek monopoli

Pengertian praktek monopoli
“praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Karena hanya terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi dan tidak terdapat subtitusi sempurna untuk komoditi itu maka untuk masuk kedalam industri itu sangat sulit atau tidak mungkin. Kita bisa mendapatkan pasar monopoli sempurna jika kita mengasumsikan bahwa suatu perusahaan monopoli yang  mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai harga dan biaya sekarang bahkan biaya dan harga dikemudian hari. Namun, perusahaan monopoli murni tidak mempunyai kekuasaan pasar yang tidak terbatas, karena adanya tuntutan pemerintah dan ancaman persaingan yang potensial, hal inilah yang menjadi penghambat kekuasaan pasar monopoli itu.
Kita dapat mengetahui bagimana kondisi yang memungkinkan timbulnya monopoli. Berikut penjelasannya :
1.      Perusahaan bisa menguasai seluruh penawaran bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi komoditii itu. Sebagai contoh, hingga perang dunia II, Alcoa memiliki atau menguasai hampir setiap sumber bauksit(bahan baku yang penting untuk memproduksi alumunium) di AS dan dengan mempunyai monopoli penuh atau produksi aluminium di Amerika Serikat.
2.      Perusahaan bisa memiliki paten yang menghalangi perusahaan lain untuk memproduksi komoditi yang sama. Sebagai contoh, ketika kertas kaca [ertama kali diperkenalkan, DuPont mempunyai kekuasaan monopoli untuk  produksinya berdasarkan hak paten.
3.      Monopoli bisa ditetapkan melalui pemrintah. Dalam hal ini, perusahaan tesebut ditetapkan sebagai produsen dan penyalur tunggal barang atau jasa tetapi tunduk pada pengendalian pemerintah dalam aspek-aspek tertentu dari operasinya.
4.      Pada beberapa industri, hasil yang meningkat atas sekala produksi bisa dijalankan pada berbagai rentang output yang cukup besar agar hanya membiarkan satu perusahaan untuk memproduksi output ekuibrium industri. Industri ini disebut “monopoli alamiah” dan biasa terdapat dalam bidang kepentingan umum dan transportasi, dalam kasus ini yang biasa dilakukan pemerintah adalah mengizinkan 1 pelaku monopoli itu beroperasi tetapi harus tunduk pada pengendalian pemerintah. Misalnya saja, tarif listrik di kota New York ditetapkan agar Con Edison mendapat “tingkat penghasilan yang normal”(misalnya 10% sampai 15%) dari investasinya.
Peraturan Monopoli dengan pengendalian harga, pajak lump-sum. Peraturan monopoli dengan pengendalian harga yaitu dengan menetapkan harga maksimum pada tingkat dimana kurva SMC memotong kurva D,pemerintah dapat mendorong perusahaan monopoli itu untuk meningkatkan output sampai tingkat yang harus diproduksi industri jika diatur menurut batas persaingan sempurna. Peraturan ini juga mengurangi keuntungan perlu monopoli itu.
Peraturan lump-sum yaitu dengan membebankan pajak lump-sum (seperti pajak izin usaha ataupun pajak keuntungan), pemerintah dapat mengurangi atu bahkan menghilangkan keuntungan perusahaan monopoli tanpa mengurangi harga komoditi atau output.
Peraturan monopoli dengan pajak per-unit yaitu pemrintah mengurangi keuntungan monopoli dengan membebankan pajak per-unit. Akan tetapi dalam kasus ini perusahaan monopoli dapat mengalihkan sebagian beban pajak per-unit kepada para konsumen, dalam bentuk harga yang lebih tinggi dan output yang lebih kecil.
 Mengingatkan kembali bahwa di Indonesia undang undang yang mengatur adalah UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.

F.      Tindak pidana korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi
Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :
a.      Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran
b.      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,dan sebagainya.
Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwasesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1.      Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaandan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2.      Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yangdipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).Perkembangan
Pengertian Korupsi antara lain :
a.       Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar
Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara(pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagaiperusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimalmungkin.
b.      Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan
1)      L. Bayley
Perkataan ‘korupsi’ dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitandengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanyapertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntunganpribadi.
2)      M. Mc Mullan
Seorang pejabat pemerintahan dikatakan ‘korup’ apabila ia menerima uangyang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisalakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapatmerugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dankekuasaan.
3)      J.S Nye
Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajibannormal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi,atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruhbagi kepentingan pribadi. Hal ini mencakup tindakan, seperti penyuapan(memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorangdalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan ataumemberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal usul danbukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secaratidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan/keperluan pribadi)

Mencegah tindak pidana korupsi
Pencegahan korupsi menurut Iskandar Hasan, dilakukan melalui perbaikan sistem untuk memperkecil peluang atau kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. Menurut dia, korupsi terjadi karena ada niat dan kesempatan. Ia mengakui, untuk memberantas korupsi sampai titik nol merupakan hal yang tidak mungkin. “Yang paling bisa barangkali memperkecil tindak pidana korupsi.
Langkah awal dan mendasar untuk menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi.




Daftar pustaka