Penerapan Hukum Jaminan Dalam
Pembiayaan Syariah
Pembiayaan yang diberikan
oleh Bank Syariah
kepada nasabah sebenarnya merupakan risiko yang akan dihadapi oleh
Bank Syariah karena semakin tinggi keuntungan yang akan
diharapkan oleh Bank Syariah dalam pembiayaan yang diberikannya juga akan
semakin tinggi risiko yang akan dihadapi oleh Bank Syariah tersebut.
Risiko tersebut terkait dengan personal dan kondisi di luar perkiraan. Risiko
personal bisa muncul berupa tidak bisanya nasabah menjaga amanah yang diberikan
oleh Bank Syariah dan hal ini juga akan berdampak pada mnculnya
pembiayaan bermasalah. Sedangkan risiko kondisi di luar perkiraan adalah
seperti terjadinya bencana gempa bumi (force majeure) yang dapat melumpuhkan hampir seluruh bidang kehidupan yang
juga berdampak pada sektor ekonomi riil.
Dalam konsep di Bank Syariah tidak boleh ada jaminan sedangkan
pada prakteknya di Indonesia ada jaminan sebagaimana yang ada dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI) diputuskan bahwa pada prinsipnya tidak ada jaminan di Bank
Syariah, namun agar mudharib atau pihak ketiga (debitor) tidak
melakukan penyimpangan, Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) dapat
meminta jaminan dari debitor. Jaminan ini hanya dapat dicairkan bila debitor
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
1.
Konsep Jaminan Dalam Hukum Islam
Secara umum jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua: jaminan yang berupa orang (personal guarancy) sering dikenal dengan istilah kafalah dan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Oleh karena itu, pembahasan berikut akan
mengulas kedua macam istilah
tersebut menurut hukum Islam.
a.
Kafalah
Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah, ketiga
istilah tersebut memilki
arti yang sama,
yakni menjamin
atau menanggung[1].
Sedangkan menurut terminologi Kafalah adalah Jaminan yang
diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak
ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung).
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT., pada
Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; “Penyeru
itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya akan
memperoleh makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga
hadist Nabi
saw; “Pinjaman
hendaklah dikembalikan dan
yang menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Dawud).
Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau
memenuhi rukun dan syarat
, yaitu:
1)
Kafiil (orang yang menjamin),
disyaratkan sudah baligh, berakal,tidak
dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan
dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2)
Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya
ialah diketahui oleh
orang yang menjamin,
ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad
menjaminan.
3)
Makful ‘anhu (orang yang berutang/yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih
hidup (belum mati).
4)
Madmun bih atau makful bih
(hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau dipenuhi,
menjadi tanggungannya (makful
anhu), dan
bisa diserahkan oleh
penjamin (kafiil).
5)
Lafadz ijab qabul, disyaratkan
keadaan lafadz itu
berarti menjamin, tidak digantungkan
kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.[2]
Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu
kafalah dengan jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau
al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).
Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang
mesti ditunaikan oleh dhamin atau
kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: 1)
kafalah bi al-Dayn, yaitu
kewajiban membayar hutang
yang menjadi beban orang lain,)
kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban
menyerahkan benda-benda tertentu yang
ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang
di-ghashab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, 3) kafalah
dengan ‘aib, maksudnya
adalah jaminan bahwa
jika barang yang dijual
ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal
lainnya, maka penjamin (pembawa
barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).
b.
Rahn.
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad
ar-rahn dalam
istilah hukum positif
disebut dengan barang jaminan. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki istilah ar-rahn adalah Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat[3]. Obyek jaminan
dapat berbentuk materi,
atau manfaat, dimana keduanya
merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan tidak
harus diserahkan secara aktual, tetapi
boleh juga penyerahannya
secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, sehingga yang diserahkan adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).[4]
Berbeda dengan definisi di atas, menurut ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah,
ar-rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang
dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang
yang berutang t i d a k bisa membayar
utangnya itu.[5]
Definisi ini mengandung pengertian bahwa
barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanya
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat
sebagaimana yang dikemukakan
ulama madzhab Maliki.Barang
jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak
dapat dilunasi dalam waktu
yang disepakati kedua belah pihak.
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam
Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul.[6]
Dalam surah Al-Baqarah, ayat 283, berbunyi:
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu
tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya.
Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa).
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila
telah memenuhi rukun dan
syarat sebagai berikut:
1)
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut ulama adalah orang yang
telah baligh dan berakal (mumayyiz). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab
itu menurut mereka
anak kecil yang
mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapatkan
persetujuan dari
walinya.
walinya.
2)
Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu
atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad
itu dibarengi dengan
syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang,
maka syaratnya batal, sedangkan akadnya
sah. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah
mengatakan apabila syarat
itu adalah syarat
yang mendukung kelancaran akad
itu, maka syarat itu diperbolehkan,tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya
syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk
sahnya ar-rahn itu, pihak pemberi
utang minta agar
akad itu disaksikan oleh
dua orang saksi. Sedangkan syarat yang
batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika
ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang
berutang tidak mampu membayarnya.
3)
Syarat al-marhum bihi (utang) adalah:
a)
merupakan hak yang
wajib dikembalikan kepada
orang tempat berutang.
b)
Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu.
c)
Utang itu jelas dan tertentu.
4)
Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan), menurut para pakar fiqh, adalah:
a) barang
jaminan itu boleh
dijual dan nilainya
seimbang dengan
utang,
b) barang jaminan itu bernilai dan dapat
dimanfaatkan,
c) barang jaminan itu jelas dan tertentu,
d) jaminan itu milik sah orang yang berutang,
e) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak
orang lain,
f) barang
jaminan itu merupakan
harta yang utuh,
tidak bertebaran dalam
beberapa tempat, dan barang
jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. [7]
Di
samping syarat-syarat di
atas, para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang,
dan uang yang
dibutuhkan telah diterima
peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak
bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan
tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang
oleh pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh
para ulama disebut
sebagai qabdh
al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini
menjadi penting karena
Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 283 menyatakan: " fa rihaanun maqbuudhatun" (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]).
Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 283 menyatakan: " fa rihaanun maqbuudhatun" (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]).
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh
pemberi utang, maka akad ar rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh
sebab itu, utang itu terkait dengan barang
jaminan, sehingga apabila utang
tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang
jaminan itu ada kelebihan, maka
wajib dikembalikan kepada pemiliknya.[8]
Dari
uraian tentang konsep
jaminan di atas,
jelas bahwa eksistensi jaminan di
akui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak
lain atas kewajiban/prestasi yang
harus dilaksanakan oleh
pihak yang dijamin (debitor) kepada
pihak yang berhak menerima
pemenuhan kewajiban/prestasi
(kreditor) disebut dengan kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan debitor (orang yang berhutang)
kepada kreditor (orang yang
berpiutang) disebut dengan rahn.
Sebagai perbandingan, dalam sistem yang
berlaku di Indonesia jaminan digolongkan
menjadi 2 macam,
yaitu jaminan materiil (kebendaan),
dan jaminan imateriil (perorangan, borgtocht). Jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan
mempunyai sifat melekat dan
mengikuti benda yang
bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan
tidak memberikan hak
mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang
lewat orang yang menjamin pemenuhan
perikatan yang bersangkutan.[9]
[1]
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2002), cet. 6, hal. 4141
[2]
Wahbah
Zuhaili. Op. Cit, hal. 4152-4161
[3]
Ad-Dardir,
Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi,
(Mesir : Dar al-Fikr, 1978), Jilid III, hal. 303.
[5]
Ibnu
'Abidin, Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963),
Jilid V, hal. 339, lihat juga As Sarakhsi, al Mabsut, (Beirut: Dar al Fikr,
tt.), Jilid XXI, hal. 63
[7]
Imam al-Kasani, Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, (Kairo: t.pn, 1969), Jilid VI, hal. 125 dan lihat juga Ibnu 'abidin. Op.Cit., hal. 340.
[9]
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004), cet. 1, hal.23.