Kamis, 10 Mei 2012

Wakalah (perwakilan)

Wakalah adalah menggantikan yang boleh melakukan transaksi seumpamanya, pada sesuatu yang bisa digantikan.

Hikmah disyari'atkannya perwakilan:
Perwakilan adalah termasuk keindahan Islam. Setiap orang, dengan
hukum pertaliannya dengan orang lain, terkadang mempunyai hak untuk atau mempunyai tanggungan hak kepada orang lain. Maka bisa jadi ia melakukannya secara langsung dengan dirinya sendiri dalam mengambil dan memberikan, atau menyerahkannya kepada orang lain. Tidak semua orang mampu melaksanakan semua urusannya dengan dirinya sendiri. Dan karena alasan inilah, Islam membolehkan memberikan perwakilan kepada orang lain untuk melaksanakannya, sebagai pengganti darinya.

Wakalah: adalah transaksi yang dibolehkan, boleh bagi setiap wakil dan yang 
memberikan hak kuasa membatalkannya di waktu kapanpun. 

Wakalah terlaksana dengan ucapan dan perbuatan yang menunjukkan atas hal itu.

Hak-hak terbagi tiga:
1.   Bagian yang sah perwakilan padanya secara mutlak, yaitu sesuatu yang bisa digantikan, seperti transaksi, pembatalan, batas-batas dan semisalnya.
2.   Bagian yang tidak sah perwakilan secara mutlak padanya, yaitu ibadah badaniyah yang murni, seperti bersuci, shalat, dan semisalnya.
3.   Bagian yang sah perwakilan padanya disertai lemah, seperti haji yang wajib dan umrahnya.

Sah perwakilan dari orang yang boleh melakukan transaksi untuk dirinyasendiri, dan sah pemberian wakalah pada segala transaksi yang boleh digantikan padanya, seperti jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya. Dan pembatalan, seperti talak, memerdekakan, aqalah, dan semisalnya. Dan pada had-had dalam menetapkan dan menyempurnakannya, dan semisal yang demikian itu. 

Keadaan-keadaan wakalah:
Wakalah: sah dalam waktu tertentu, seperti seseorang berkata: Engkau menjadi wakil saya selama satu bulan. Sah pula bergantung dengan syarat, seperti ia berkata: Apabila telah sempurna penyewaan rumah saya, maka juallah. Dan sah pula secara langsung, seperti ia berkata: Engkau sebagai wakil saya pada saat ini. Dan sah menerimanya secara langsung dan ditunda. 
Wakil tidak boleh memberikan wakalah pada sesuatu yang dia diberikan wakalah padanya kecuali apabila yang memberikan wakalah mengijinkannya dengan hal itu. Maka jika ia tidak mampu, ia boleh memberikan wakalah kecuali pada persoalan harta, maka harus mendapatkan ijin yang memberikan wakalah.

Wakalah menjadi batal dengan beberapa hal berikut ini:
1.   Pembatalan salah seorang dari keduanya bagi wakalah itu.
2.   Muwakkil (yang memberikan wakalah) mencabut wakalahnya dari wakil.
3.   Meninggal salah seorang dari keduanya atau hilang ingatan.
4.   Ditahan karena bodoh kepada salah seorang dari keduanya.

Boleh wakalah dengan memberikan upah atau tanpa upah. Wakil adalah orang yang diberi kepercayaan pada sesuatu yang diwakilkan kepadanya, ia tidak  menjamin sesuatu yang rusak di tangannya bukan karena kelalaian. Jika ia melewati batas atau lalai, ia mengganti, dan diterima ucapannya dalam menolak kelalaian disertai sumpahnya.

Barang siapa yang mempunyai kemampuan dan bisa menjaga amanah dan ia tidak khawatir akan berbuat khianat, dan wakalah tidak akan merepotkannya, maka wakalah itu disunnahkan pada dirinya, karena mengandung pahala, sekalipun dengan upah, disertai niat ikhlas dalam  menyempurnakan pekerjaan. 

Hajr

Hajr adalah menghalangi manusia dari mendayagunakan hartanya karena sebab syar'i.

Hikmah disyari'atkan hajar:
Allah SWT memerintahkan menjaga harta dan menjadikan di antara
sarana-sarana hal itu adalah hajr kepada orang yang tidak bisa mendayagunakan hartanya, seperti orang gila, atau dalam pendayagunaannya mengandung penyia-nyiaan harta seperti anak kecil, atau dalam pendayagunaannya mengandung pemborosan seperti orang bodoh, atau ia mendayagunakan sesuatu yang ada di tangannya yang membahayakan hak orang lain seperti orang bangkrut yang diberatkan oleh hutang-hutang. Maka Allah SWT mensyari'atkan hajr untuk memelihara harta mereka. 

Hajr terbagi dua:
1.   Hajr untuk orang lain: seperti hajr kepada orang yang bangkrut untuk orang-orang yang memberi pinjaman kepadanya.
2.   Hajr untuk dirinya: seperti hajr kepada anak kecil, orang bodoh, dan orang gila untuk memelihara hartanya.

Orang yang bangkrut adalah orang yang hutangnya melebihi hartanya, dan hakim menghajarnya (menghalanginya melakukan transaksi) dengan tuntutan orang-orang yang memberi pinjaman kepadanya atau sebagian mereka. Haram atasnya melakukan transaksi yang membahayakan orang-orang yang memberi pinjaman kepadanya, dan transaksinya tidak sah, sekalipun belum dihalangi (oleh hakim) atasnya.

Siapa yang hartanya sejumlah hutangnya atau lebih banyak, tidak dihalangi atasnya dan ia disuruh melunasinya. Maka jika ia menolak, ia ditahan dengan permintaan pemiliknya. Dan jika ia bersikeras dan menolak menjual hartanya, hakim menjualnya dan membayarkannya.

Barang siapa yang hartanya lebih sedikit dari kewajiban hutangnya yang jatuh tempo, maka dia seorang yang bangkrut yang wajib dihalangi atasnya dan menginformasikan kepada manusia dengannya agar mereka tidak terperdaya dengannya, dan dihalangi atasnya dengan permintaan orang-orang yang memberi pinjaman kepadanya, atau sebagian mereka.

Apabila telah sempurna hajr kepada orang yang bangkrut, terputuslah
tuntutan darinya, dan ia tidak boleh melakukan transaksi dengan hartanya.
Maka hakim menjual hartanya dan membagi harganya sejumlah hutang-hutang kepada orang-orang yang memberi pinjaman yang jatuh tempo. Jika tidak tersisa sesuatu atasnya, terlepaslah hajr darinya karena hilangnya sesuatu yang mewajibkannya.

Apabila hakim telah membagi harta orang yang bangkrut di antara para
kreditornya, terlepaslah tuntutan darinya dan tidak boleh menekan dan
menahannya karena hutang ini, tetapi dia dilepas dan diberikan tempo sampai Allah SWT memberi rizqi kepadanya dan menutupi hutang yang tersisa untuk para kreditornya.
Dan barang siapa yang tidak mampu membayar hutangnya, ia tidak boleh. dituntut dengannya dan haram menahannya, dan wajib menunggunya dan melepaskannya adalah sunnah, karena firman Allah
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui"  (QS. Al-Baqarah: 280)

Keutamaan menunggu orang yang susah:
Menunggu orang yang susah, apabila sudah jatuh tempo padanya merupakan suatu pahala besar, karena sabda Nabi SAW:
"… Barang siapa yang menunggu orang yang susah, maka untuknya setiap hari dua seumpamanya sebagai sedekah." (HR. Ahmad).

Barang siapa yang menemukan barangnya di sisi orang yang bangkrut, maka ia paling berhak dengannya, apabila ia belum mengambil sedikitpun dari harganya,dan orang yang bangkrut masih hidup, dan benda tersebut dengan sifatnya pada miliknya, belum berubah.
Menghalangi orang yang bodoh, anak kecil, dan orang gila, tidak memerlukan hakim. Ayah yang mengurus mereka, jika ia seorang yang adil lagi cerdas, kemudian yang menerima wasiat, kemudian hakim, dan wali harus menggunakan dengan yang paling berguna untuk mereka. 

Hajr hilang dari anak kecil karena dua perkara:
1.   Baligh, seperti yang telah terdahulu.
2.   Cerdas, yaitu baik dalam menggunakan harta, dengan diberikan harta dan dicoba dengan melakukan jual beli, sehingga diketahui baiknya dalam melakukan transaksi.
Firman Allah SWT:
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya" (QS. An-Nisaa: 6).

Apabila orang yang gila telah berakal dan cerdas, atau orang yang bodoh sudah 
cerdas, yaitu ia baik menggunakan harta, maka ia tidak lalai dan tidak
menggunakannya pada yang haram, atau pada yang tidak berfaedah, hilanglah hajr dari keduanya dan dikembalikan harta itu kepada mereka.

Kecurangan (tidak mau membayar hutang) orang yang kaya menghalalkan kehormatan dan menghukumnya, maka disyari'atkan menahan orang yang terhutang yang mampu tapi curang sebagai pelajaran baginya. Adapun orang yang susah, maka baginya adalah hak ditunggu, dan memaafkan lebih baik dan lebih terpuji. 

Shulh (berdamai)

Shulh: adalah kesepakatan yang diperoleh dengannya menghilangkan persengketaan di antara dua orang yang bermusuhan. 
Hikmah disyari'atkan berdamai:
Allah SWT mensyari'atkan berdamai untuk menyatukan di antara dua orang yang bermusuhan dan menghilangkan perpecahan di antara keduanya. Dengan demikian, bersihlah jiwa dan hilanglah rasa dendam. Mendamaikan di antara manusia termasuk ibadah yang terbesar dan taat yang paling agung, apabila ia melaksanakannya karena mengharapkan ridha Allah SWT. 
Keutamaan mendamaikan di antara manusia:
1. Firman Allah SWT: 
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An-Nisaa: 114).
2. Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap sendi dari manusia atasnya sedekah, setiap hari yang terbit matahari
padanya melakukan keadilan di antara manusia adalah sedekah." (Muttafaqun 'alaih).

Berdamai disyari'atkan di antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, di antara orang-orang adil dan zalim, di antara suami istri saat berselisih pendapat, di antara tetangga, karib kerabat, dan teman-teman, di antara dua orang yang bermusuhan dalam persoalan selain harta, dan di antara dua orang yang bermusuhan dalam masalah harta.
Berdamai dalam masalah harta terbagi dua:
1. Berdamai atas iqrar (pengakuan):
Seperti seseorang mempunyai tagihan benda atau hutang atas orang lain, keduanya tidak mengetahui jumlahnya dan ia mengakuinya, lalu ia berdamai kepadanya atas sesuatu, hukumnya sah. Dan jika ia mempunyai tagihan hutang atasnya yang jatuh tempo dan ia mengakui atasnya, lalu ia merelakan sebagiannya dan menundanya sisanya, niscaya sah merelakan dan menunda. 
Dan jika ia berdamai dari yang ditunda dengan sebagiannya  pada saat itu, hukumnya sah. Perdamaian ini hanya sah apabila tidak disyaratkan dalam iqrar (pengakuan), seperti ia berkata, 'Aku mengakui untuknya dengan syarat engkau memberikan saya ini,' dan tidak menghalanginya haknya tanpa hal itu.
2. Berdamai atas pengingkaran:
Yaitu bahwa  mudda'i (yang mengaku) mempunyai hak yang tidak
diketahui oleh mudda'a 'alaih (yang dituduh), lalu ia mengingkarinya. Apabila
keduanya berdamai atas sesuai, perdamaian itu sah. Akan tetapi jika salah satu dari keduanya berdusta, tidak sah perdamaian itu pada haknya secara batin, dan apa yang diambilnya adalah haram.

Kaum muslimin berada di atas syarat mereka, dan berdamai hukumnya boleh di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan berdamai yang boleh adalah yang adil yang diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya dengannya. Yaitu yang niatkan karena ridha Allah SWT darinya, 
kemudian ridha dua orang yang bermusuhan. Dan Allah SWT memujinya dengan firman-Nya:
"dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)"  (QS. An-Nisaa: 128).

Perdamaian adil mempunyai beberapa syarat, yang terpenting: Kelayakan dua orang yang berdamai, yaitu sah dari keduanya transaksi secara syara', dan perdamaian itu tidak mengandung pengharaman yang halal, atau penghalalan yang haram, dan salah seorang dari yang berdamai tidak berbohong dalam dakwaannya, dan yang mendamaikan seorang yang taqwa lagi alim terhadap realita, mengetahui yang wajib, bertujuan mencari keadilan. 

Haram atas pemilik menimbulkan sesuatu yang membahayakan tetangganya dengan apa yang dimilikinya, berupa mesin yang kuat atau oven (tungku) dan semisal keduanya. Jika tidak membahayakan, maka tidak mengapa. Dan bagi tetangga atas tetangganya ada hak-hak yang banyak, yang terpenting: menghubunginya, berbuat baik kepadanya, tidak menggangunya, sabar atas gangguannya, dan semisal yang demikian itu yang wajib kepada seorang muslim. 
Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda:
"Jibril a.s senantiasa berpesan kepadaku dengan (selalu berbuat baik) kepada tetangga, sehingga aku mengira bahwa ia akan mewarisnya." (Muttafaqun 'alaih).