Sabtu, 12 Mei 2012

N U S Y U Z

A.       Pengertian Nusyuz
Nusyuz adalah kemaksiatan dan tidak adanya pelaksanaan kewajiban oleh pihak istri, hal ini sebagai pengimbang nafkah, nafkah sendiri tidak gugur dari suami terhadap istrinya oleh selain nusyuz. Allah telah mensyari’atkan  untuk mengatasinya dengan nasehat dari kitabullah, yaitu :
  1. Dengan mengingatkan istri tentang apa yang telah diwajibkan Allah kepada mereka yang berupa pergaulan dan sikap yang baik terhadap suami serta mengakui kepemimpinan suami terhadap dirinya.
  2. Jika nasehat itu tidak berhasil, maka suami menghidarinya di tempat tidur (tidak mencampurinya).
  3. Jika tidak berhasil, maka dengan pukulan, yaitu pukulan yang tidak menyakitkan, yakni tidak meremukkan tulang dan tidak melukai.
Perlu diingat dalam hal ini, bahwa Rasulullah saw.,  tidak pernah memukul istri dan pelayannya, sehingga beliau juga menjelaskan bahwa yang memukul isteri bukan muslim yang baik , Nabi saw., bersabda:
“Janganlah seseorang diantara kalian memukul istrinya seperti memukul budak lalu mencampurinya diakhir malam.”(HR. Bukhari)
B.        Cara Islam Menangani Perselisihan Suami Istri
Dalam kondisi yang dikhawirkan terjadinya perselisihan, Allah swt., mensyari’atkan agar suami istri mengutus utusan dari pihak kelurga masing-masing untuk mengukuhkan kelangsungan rumah tangga dan menetapkan perceraian. Allah swt., berfirman:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.An-Nisa’: 35)
Masing-masing utusan itu hendaknya dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri, karena mereka lebih tahu tentang kondisi  suami istri tersebut. Dan hendaknya kedua utusan itu adalah orang yang adil dan mengerti agama sehingga tidak terpengaruh oleh hawa nafsu atau ketidaktahuannya terhadap agama sehingga menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Kedua utusan itu hendaknya bersungguh-sungguh, mengingatkan pasangan suami istri kepada Allah dan pentingnya kelangsungan rumah tangga, jika suami istri itu bertobat dan kembali, maka masalahnya sudah selesai, tapi jika tidak demikian dan kedua utusan itu memandang bahwa perpisahan lebih baik, maka keduanya diceraikan.

N I K A H

A.    Nikah dalam Pandangan Islam
            Rumah tangga dalam Islam dibentuk melalui peristiwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita muslimah. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang syar’i untuk membangun keluarga muslim, dan bahwa menjalin hubungan seksual di luar kerangka ini termasuk perbuatan yang berdosa besar, yaitu perbuatan yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya. karena Allah telah mengharamkan zina dan segala hal yang mengarah kesitu baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Allah Swt., telah  menganugerahkan kepada hamba-hambanya melalui pernikahan yang telah disyari’atkan atas mereka  dan menjadikannya  sebagai salah satu tanda kekuasaanya, sebagaimana dalam firmannya,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Rum: 21)
Dalam ayat yang lain Allah swt., menjelaskan bahwa pernikahan merupakan sunnah yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul terdahulu, sebagaiman dalam firmannya:
“Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” (QS. al-Ra’d:38)
Bahkan Rasulullah saw., juga menganjurkan kepada para pemuda untuk menikah, sebagaimana sabda beliau,
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu ba’ah (memberikan nafkah lahir dan nafkah batin) maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menjaga pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang Belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu  adalah  pengekang baginya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Di lain sisi Rasulullah saw., melarang membujang, karena pernikahan itu merupakan sunnah beliau, dan barangsiapa yang tidak mengikuti sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongannya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw:
“Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa lepada-Nya dari pada kalian. Namun demikian aku berpuasa dan berbuka, aku sholat malam dan tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Dalam kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan  dinyatakan dalam pasal 2 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Selanjutnya Allah Swt., mengharamkan zina dan memasukkan dalam golongan perbuatan yang berdosa besar, sebagaimana yang tersirat dalam firmannya,
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Allah telah menjelaskan hukuman yang seharusnya diberikan kepada para pezina dalam firman-Nya,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)
Rasulullah saw., juga memberi penegasan bahwa orang yang sudah menikah lalu melakukan zina, maka ia harus dirajam (dikubur tubuhnya hingga leher lalu dilempari batu sampai mati)
B.     Hukum Nikah
Kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakan perkawinan, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.
a.       Melakukan perkawinan yang  hukumnya wajib.
            Bagi orang yang telah punya kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.
b.      Melakukan perkawinan yang  hukumnya sunnat
            Orang yang telah  mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.
c.       Melakukan perkawinan yang  Hukumnya Haram
            Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melangsungkan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
d.      Melakukan perkawinan yang  Hukumnya Makruh
            Orang yang mempunyai kemampuan melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.  Hanya saja ia tidak mempunyai keinginan kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e.       Melakukan Perkawinan yang  Hukumnya Mubah
            Orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menerlantarkan istri. Bahkan perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahter a.
C.     Persiapan Pembentukan Rumah Tangga
Dalam membetuk rumah tangga, maka hal yang mutlak untuk diperhatikan adalah melakukan berbagai macam persiapan agar rumah tangga dapat mewujudkan  ketenangan, cinta dan kasih sayang.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah pertama, persiapan mental (ruhiyah), dimaksudkan untuk memantapkan langkah menuju kehidupan rumah tangga, agar tidak gamang dengan berbagai macam kondisi yang akan dilalui setelah pernikahan, karena yang namanya rumah tangga bukan hanya mengandung kesenangan-kesenangan tetapi didalamnya juga ada masalah-masalah, karena itu seseorang harus: siap dengan adanya beban-beban, siap menghadapi cobaan kehidupan, dan siap menyelesaikan masalah.
Kedua, persiapan ilmiyah, hal ini dimakudkan  untuk mengetahui berbagai seluk-beluk hukum, etika, dan berbagai aturan berumah tangga.  Dalam masyarakat banyak terjadi pasangan suami istri yang memasuki kehidupan keluarga tanpa berbekal pengetahuan memadai tentang hukum-hukum kerumah tanggaan. Sebagai contoh masih banyak yang tidak mengetahui tatacara mandi janabat, tidak mengetahui etika berumah tangga, etika berhubungan suami-istri, tidak mengetahui hukum dan tatacara membersihkan najis, dan sebagainya.
Ketiga, persiapan jasadiyah, dimaksudkan agar memiliki kesehatan yang memadai sehingga mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami atau istri secara optimal. Kesehatan reproduksi  merupakan salah satu sisi yang senantiasa harus mendapatkan porsi perhatian bagi suami maupun istri, selain tentu saja kesehatan dalam arti umum dan luas.
Keempat, persiapan material. Tidak bisa dipungkiri bahwa persiapan meniti rumah tangga sangat membutuhkan kesiapan materi. Persiapan materi tidaklah harus dipersepsi sebagai menumpuknya harta dalam bilangan yang amat banyak, tetapi bagaimana agar supaya ada kemampuan untuk menanggung beban ekonomi keluarga.
Kelima, persiapan sosial. Yang dimaksudkan adalah adalah bentuk kemampuan berinteraksi dengan masyarakat secara wajar dan optimal. Persiapan ini tidak bisa ditingga lkan, lantaran dalam kehidupan rumah tangga senantiasa dituntut interaksi sosial di tengan masyarakat luas.
D.    Khitbah (Meminang)
Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki, agar dalam memilih calon istri agar mempertimbangkan empat  faktor: kekayaan(limaliha), kecantikan (lijamaaliha), keturunan (lihasaabiha), dan agama(lidiiniha).
Rasulullah saw., bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka beruntunglah yang memilih wanita karena agamanya.” (Bukhari dan Muslim)
Meminang adalah janji untuk menikah atau meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain. Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan uapaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Sebagai catatan bahwa sebelum meminang hendaknya masing-masing saling melihat tetapi bukan dengan khulwah (berduaan di tempat yang sepi). Rasulullah saw., pernah mengatakan kepada  al-Mughiran bin syu’bah pada saat ia melamar seorang wanita. ”Lihatlah kepadanya, karena itu lebih bisa melanggengkan hubungan anatara kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Adapun bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika akan dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya memperbolehkan pada bahagian muka dan dua telapak tangan. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan. Bila seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya tidak menarik, maka hendaklah ia diam, dan jangan mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti hatinya, sebab boleh jadi perempuan tersebut tidak disenangi tapi disenangi oleh orang lain.
Mengenal calon suami atau istri amat diperlukan, akan tetapi jangan berfikir bahwa harus mengetahui segala sesuatunya dari calon suami dan istri, sebab hal itu: 1) tidak mungkin terjadi, 2). Memakan waktu yang lama, 3). Memudahkan jatuh pada perbuatan dosa. 
 Rentang waktu antara masa perkenalan hingga menetapkan pilihan dan proses pelamaran jangan terlalu lama, karena hal itu dapat mendatangkan fitnah dan mafsadah (keburukan).
Jarak antara peminangan dengan aqad nikah juga jangan terlalu lama, karena dikhawatirkan kedua belah pihak tidak bisa mengendalikan diri selama masa menunggu dari khitbah hingga aqad nikah, pada akhirnya nafsu tidak terkendalikan dan larangan Islam digampangkan untuk dilanggar.
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Tidak dalam pinangan orang lain.
b.      Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkan pernikahan.
c.       Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d.      Apabila perempuan  dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).
Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan muhrimnya. Agama tidak membenarkan seseorang kecuali sekedar melihat dan itupun harus ditemani oleh salah seorang mahramnya.
E.     Akad Nikah
Abu Bakar Jabir Al-jazairy dalam kitab Minhajul Muslim menyebutkan bahwa pernikahan adalah aqad (perjanjian) yang menghalalakan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan untuk bersenang-senang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, pernikahan bisa dipahami sebagai: aqad untuk beribadah kepada Allah, aqad untuk membangun rumah tangga, aqad untuk meninggalkan kemaksiatan,  aqad untuk saling mencintai karena Allah, aqad untuk saling menghargai dan menghormati, aqad untuk saling menerima apa adanya, aqad untuk saling menguatkan keimanan, aqad untuk saling membantu dan meringankan beban, aqad untuk saling menasihati, aqad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam sakit dan sehat.
Akad nikah adalah perjanjian suci, oleh al-Qur’an disebut mitsaqan ghalizha artinya perjanjian berat atau perjanjian kokoh. Tentu istilah ini mengandung maksud sebagai suatu peringatan bahwa perjanjian ini harus dipegang teguh, jangan dianggap main-main, tidak boleh dikhianati oleh kedua belah pihak suami istri. Kata-kata perjanjian ini sangat ringan dalam pengucapan, tetapi sangat berat konsekwensinya dan tanggung jawabnya.
Kalimat ijab  kabul dalam pelaksanaan akad nikah mengandung makna serah terima tanggung jawab amanah Allah, sebagaimana pesan Nabi Muhammad saw dalam salah satu hadits beliau, yang artinya:”Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambilnya dengan amanah Allah.”
Amanah sekurang-kurangnya memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) Titipan, 2) Tanggungjawab, dan 3) kepatuhan kepada hukum Allah.
Istri adalah titipan Allah kepada suami, dan suami adalah titipan Allah kepada istri, yang harus dijaga sesuai dengan kehendak yang menitipkan, yaitu Allah swt, bukan sesuai dengan kehendak kita yang dititipi, sebagaimana tukang parkir yang dititipi kendaraan oleh pemiliknya. Dia harus menjaga sesuai keinginan pemilik kendaraan, dan apabila pemiliknya mau mengambil dia harus ikhlas menyerahkannya.
Suami istri adalah amanah Allah, dalam arti tanggung jawab yang diberikan Allah kepada masing-masing pihak. Kedua belah pihak harus memiliki komitmen yang kuat atas hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan Allah, serta menyadari implikasi dan konsekwensi dari apa yang mereka lakukan. Kasus-kasus buruk dalam keluarga pada umumnya terjadi bersumber dari diabaikannya amanah ini.
F.         Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan dalam pandangan Islam adalah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum: 21)

Berdasarkan ayat  tersebut, tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Sebagai perekat kabahagiaan antara suami istri itu,  Allah karuniakan mawaddah (perasaan cinta) dan rahmah(perasaan kasih sayang). Mawaddah dan rahmah ini adalah sesuatu yang sangat ideal. Artinya sungguh indah dan betapa bahagianya jika pasangan suami istri itu diikat dengan mawaddah dan rahmah sekaligus. Sebab mawaddah dalam bahasa Arab mempunyai arti kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Mawaddah juga bermakna cinta yang menggelora, mendalam, luas dan bersih dari fikiran dan kehendak buruk. Sedangkan rahmah dalam hal ini mengandung pengertian kasih sayang, dimana masing-masing pasangan  berusaha saling menjaga dari segala hal yang ia tidak sukai. Keluarga yang mampu mengoptimalkan mawaddah dan rahmah inilah yang bisa merasakan rumah tangga bagaikan surga, yang oleh Rasulullah saw beliau sebutkan Baiti Jannati
Sesuatu yang sangat ideal itu biasanya jarang terjadi. Akan tetapi Allah Maha Adil dan bijaksana, terutama bagi pasangan yang telah lama, seandainya mawaddah (cinta) tidak lagi be rgelora, masih ada rahmah (kasih sayang), sehingga menjadi perekat ketentraman dan keutuhan rumah tangga, bahkan mampu melahirkan generasi yang terpuji.
Dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, Allah swt membuat perumpamaan yang indah tentang suami istri, sebagaimana dalam al-Quran:
 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3
“Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka.”(QS. Al-Baqarah: 187).

Perumpamaan Allah ini mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat luas dan mendalam. Di lihat dari fungsi pakaian, sekurang-kurangnya ada tiga fungsi, dan suami istri pun harus berfungsi sebagaimana fungsi pakaian ini, yaitu:
1.      Sebagai penutup aurat
Pakaian berfungsi sebagai penutup aurat. Aurat adalah sesuatu yang membuat kita malu bila dilihat atau diketahui orang lain. Begitulah hendaknya suami istri, harus mampu berfungsi untuk menutupi aurat, ”aib atau kelemahan pasangannya.”. jangan sampai terjadi sebaliknya, ada istri yang membuka aib suaminya kepada orang lain bahkan melalui infotainment, dan dibalas lagi oleh suaminya. Sungguh sangat menyimpang dari fungsi suami istri yang diajarkan al-Qur’an.
2.      Sebagai penghangat dan penyejuk
Di saat cuaca dingin pakaian berfungsi menghangatkan tubuh kita, sebaliknya di saat kita panas terik matahari maka pakaianlah membuat kita sejuk tidak terbakar. Begitu juga rumah tangga, ada saat keadaan dingin, sepi dan terasa jenuh tak bergairah, pasangan yang baik dia mampu membuat suasana hangat, bergairah dan bersemangat. Pada saat pasangan terbakar emos i, gerah dengan masalah pekerjaan di kantor atau masalah lainnya, maka fungsi pasangan adalah menyejukkan, mendinginkan suasana, bukan malah mengompori, memanas-manasi keadaan, membakar suasana. Sebagaimana istri Abu Lahab yang diceritakan dalam al-Qur’an, bahwa ia mendorong suaminya untuk melakukan kejahatan terhadap Rasulullah saw, sehingga terkenal sebagai pembawa kayu bakar (wamraatuhu hammalatal khatab).
3.      Sebagai hiasan
Pakaian berfungsi sebagai hiasan bagi kita. Dengan pakaian kita bertambah cantik dan tampan. Jadi dalam hal ini pakaian mempunyai nilai tambah. Begitu seharusnya pasangan suami istri. Suami seharusnya menjadi nilai tambah bagi bagi istrinya, begitu pula sebaliknya, kahadiran istri harus melengkapi kekurangan suaminya, memberi nilai tambah bagi suaminya.

G.    Rukun dan Syarat Nikah
Dalam proses pernikahan dapat dilangsungkan apabila memenuhi  rukun dan syarat sah perkawinan, yaitu:
1.      Rukun dan Syarat sah Nikah
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Syarat yaitu sesuatu yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk rangkaian pekerjaan.
2.      Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas:
a.           Adanya calon suami dan istri
b.          Ada wali dari pihak calon pengantin wanita (wali nasab/wali hakim): wali harus muslim, aqil dan baligh.
c.           Adanya dua orang saksi dengan syarat: muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
d.          Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali dan di jawab oleh calon pengantin laki-laki. Contoh kalimat akad nikah; “Aku nikahkan Engkau dengan…….binti……dengan mahar  Rp 100.000.000 tunai” . Jawaban atau kalimat Kabul  yang digunakan wali sesuai dengan ijab.
            Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima, empat di antaranya sama dengan pendapat para imam yang lain tetapi satu diantaranya beliau menambahkan dengan mahar (maskawin). Adapun Imam Syafi’i dan ulama Hanafiah menganggap mahar  tidak termasuk rukun dalam perkawinan, tapi calon mempelai wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebahagian. Mahar yang Belum ditunaikan penyerahannya akan menjadi hutang calon mempelai pria.
3.      Syarat Sah perkawinan
Secara garis besarnya syarat sahnya perkawinan ada dua:
a.           Calon mempelai perempuan halal untuk dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikan istri.
b.          Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Adapun penjelasan tentang kedua syarat tersebut adalah:
Syarat-syarat calon pengantin pria
i)        Beragama Islam
ii)      Jelas bahwa calon suami adalah laki-laki
iii)    Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
iv)    Calon suami rela tau tidak dipaksa.
v)      Tidak sedang melakukan ihram
vi)    Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
vii)  Tidak sedang mempunyai istri empat.

Syarat-syarat calon pengantin perempuan, ketika akan menikah:
i)        Beragama Islam atau ahli kitab (al-Baqarah: 221, QS.Al-Mumtahanah: 10)
ii)      Jelas bahwa ia wanita,bukan khuntsa (banci)
iii)    Halal bagi calon suami.
iv)    Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa ‘iddah.
v)      Tidak dipaksa/ikhtiar
vi)    Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
Syarat-syarat  yang mesti dimiliki wali.
i)        Laki-laki
ii)      Muslim
iii)    Baligh
iv)    Berakal
v)      Adil (tidak fasik)
Adapun syarat-syarat saksi adalah:
i)        Berakal, bukan orang gila
ii)      Baligh, bukan anak-anak
iii)    Merdeka, bukan budak
iv)    Islam
v)      Kedua orang saksi itu mendenga
H.    Tugas dan Kewajiban Suami Istri
Untuk tegaknya rumah tangga yang diliputi dengan sakinah, mawaddah dan rahmah, maka mutlak suami istri mengetahui dan menjalankan fungsi-fungsinya secara baik.
1.          Posisi/Status Suami
Tugas seorang  suami adalah qawwam (pemimpin), pilar (tiang) dari sebuah rumah tangga. Allah Swt., memberikan petunjuknya dalam hal ini:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)
Said Hawwa dalam tafsirnya memberi penjelasan bahwa,”Tugas kaum laki-laki adalah memimpin kaum wanita, sebagaimana pemimpin memimpin rakyatnya yaitu dengan perintah, larangan, dan yang semacamnya.” Ia wajib mendudukkan seluruh anggota keluarga pada posisinya masing-masing. Dengan demikian suami harus meberikan keteledanan yang paripurna dalam keluarga tersebut. Sebagai pemimpin, ia wajib memenuhi kebutuhan pokok dalam rumah tangga, baik kebutuhan material maupun kebutuhan spritual. Termasuk kebutuhan material adalah sandang, pangan, dan tempat tinggal (rumah). Untuk itulah suami wajib bekerja mencari nafkah. Kalaupun istri termasuk kaya karena mendapatkan harta dari orang tuanya dan cukup  untuk menghidupi  satu keluarga, hal ini tidak menggugurkan  kewajiban suami untuk mencari nafkah kepada istri dan ank-anaknya.
Sedangkan kebutuhan spritual antara lain berupa bimbingan kepada kebaikan, mengajarkan agama, memberikan jaminan keamanan dan perlindungan, kasih sayang, kecintaan, dan terjaganya perasaan.
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Pasal 80
1.      Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal mengenai urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2.      Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.      Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa.
4.      Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung;
a.       Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b.      Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
c.       Biaya pendidikan bagi anak
5.      Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6.      Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.      Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
1.      Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam ‘iddah.
2.      Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3.      Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihaklain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpan harta kekayaan,  sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4.      Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat  tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga  maupun sarana penunjang lainnya.
2.          Posisi/Status Istri
Istri adalah rabbatul bait (pengelola rumah tangga). Ia memiliki peran yang sama pentingnya dengan suami dalam hal kebaikan rumah tangga. Ia pun memiliki posisi qudwah (keteladanan) bagi anggota keluarga yang lain. Sebagai ibu rumah tangga ia berusaha untuk menjalankan fungsinya, yaitu:
            Pertama: Sebagai pendamping suami yang setia. Mendampingi suami dalam setiap situasi dan kondisi, menghiburnya dalam duka dan nestapa, menyenangkan suami tatkala bersedih dan gelisah merupakan kewajiban istri terhadap suami. Jika istri dapat berlaku terhadap suaminya seperti yang dipaparkan di atas, insya Allah suami akan bertambah cinta dan kasih sayangnya kepadanya, dan merasa puas dengan pelayanan istrinya. Maka wajarlah kalau dijanjikan dengan balasan yang setimpal, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tiap-tiap istri yang meninggal dan dirdhai oleh suaminya, maka ia akan masuk surga.”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
            Kedua, sebagai pemelihara anak-anaknya. Hendaknya seorang ibu memperhatikan makanan dan minuman serta pakaian anak-anaknya. Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan pembinaan, pendidikan dan pembiasaan-pembiasaan baik terhadap anak-anaknya.
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 83
                                                   Kewajiban Istri
1.      Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2.      Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.