Jumat, 25 Maret 2011

Riba


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Riba yaitu membungakan uang dalam bentuk pinjaman atau perdagangan. Sistem riba Nampak berkembang pesat, menjajah di permukaan dunia, mulai dari Negara ke Negara dan dari kota sampai ke Desa. Kerugian dan kehancuran akibat Riba ini membuat mereka gila dan pingsan seperti kesurupan jin. Penyakit ini timbul pada zaman jahiliyah sebelum di utus Nabi Muhammad SAW, lalu sembuh dengan pengobatan Al-Qur’an dan Sunnah.
Perlu diketahui bahwa Riba pada zaman sekarang lebih berbahaya dari pada Riba pada zaman jahiliyah. Karena pada zaman jahiliyah sistem Riba terbatas kepada pinjaman, yang apabila terlambat tempo pembayarannya akan diberi tawaran, dibayar sekarang, ataukah kamu tambah nilai uang yang kamu hutang. Artinya mereka tidak membungakan uang setiap tahapan, tetapi bunga itu di tawarkan pada waktu tempo pembayaran. Jika dibayar, mereka tidak mengambil bunga dari orang yang berhutang. Sedangkan riba pada zaman sekarang lebih kejam dan mencekik masyarakat yang ekonominya lemah.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw) dengan kata lain, Riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu. Sedangkan Riba menurut istilah syariat adalah penambahan nilai pada sesuatu yang khusus. Landasannya bisa dilihat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa(4) ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.[1]
Adapun yang dimaksud jalan yang bathil yaitu pengambilan tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan pengganti yang dapat dibenarkan dalam syariat islam.
B.     Asbabun Nuzul.
Ibnu katsir menuturkan: “Zaid Bin Aslam dan Ibnu Juraij dan Muqatil Bin Hayyan dan As-sudi menjelaskan bahwa ayat ini turun berhubungan dengan peristiwa antara Bani Amr bin Umair (dari keturunan kalangan bani Tsaqif), dan Bani Al-Mughirah (dari keturunan bani Mahzum). Kelompok ini masih mempunyai sangkut paut dengan Riba pada zaman jahiliyah. Setelah islam datang, mereka sama-sama memeluk islam, lalu Tsaqif  ingin mengambil Riba yang ada di bani Al-Mughirah,lalu mereka bermusyawarah . kata bani Al-Mughirah, “kita tidak perlu membayar Riba dengan hasil yang kita peroleh setelah masuk islam, (lalu terjadilah konflik), akhirnya ‘Itab bin usaid sebagai wakil pimpinan kota makkah menulis surat kepada Rasulullah SAW (untuk menjelaskan perkaranyadan meminta jawabannya) maka turunlah sarat Al-Baqarah : 278-279, selanjutnya Rasulullah SAW membalas suratnya dengan mengutip ayat ini. Lalu mereka segera bertaubat, kembali ke jalan Allah yang benar dan meninggalkan (tidak mengambil) sisa-sisa Riba setelah datangnya peringatan ini.
Ibnu Abbas berkata: ayat Riba ini adalah ayat yang terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

C.    Hukum dan Pelarangan Riba
Adapun hukum Riba berdasarkan Al-Qur’an,As-Sunnah dan Ijma’ yaitu haram. Ketahuilah hai saudaraku yang beriman, islam tidak membiarkan manusia dianiaya oleh manusia. Islam menghendaki umat ini agar mendapatkan rahmat hidupnya, oleh karena itu islam menghapus kezaliman Riba pad melihat dalam QS. Al-Baqarah:27 a zaman jahiliyah dengan diturunkannya ayat Riba. Kita bisa 5-279
Ada beberap hukum Riba diantaranya:[2]
1.      Siksaan yang sangat berat kelak pada hari kiamat bagi pemkan Riba dan yang menghalalkannya.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’id berkata:
Karena mereka didunia mencari harta dengan cara yang keji seperti orang gila. Mereka akan disiksa di alam kubur dan pada hari kiamat mereka tidak akan bangkit dari kubur melainkan seperti orang yang terkena pukulan syetan, pingsan dan gila. Demikian itu siksaan dan balasan karena mereka menyamakan jual-beli dengan Riba.
2.      Riba tidak membawa berkah, bahkan memusnahkan pelakunya meski sebesar apapun hasil yang ia peroleh.
Pelarangan Riba dalam Al-Qur’an:
Larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun secara bertahap.
-          Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT.
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan(pahalanya)” (QS. Ar-Rum:39).

-          Tahap ke-2, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Firman Allah subhanahu wata’ala: “ maka disebabkan kedzoliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi  (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”(Qs.An nisa:160-161)
-          Tahap ke-3, riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
 Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Qs.AL Imran:130)
-          Tahap ke-4, ayat riba diturunkan oleh Allah yang dengan jelas sekali mengharamkan barang sejenis tambahan yang di ambil daripada pinjaman.
            Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiayaa dan tidak pula dianiaya” (Qs. Al-Baqarah:278-279)
            Adapu hadis-hadis tentang pelarangan riba antara lain:
            “ Diriwayatkan oleh Samura Bin Jundab bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, dimana didalamnya berdiri seorang laki-laki. Dipinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-lakin lain dengan batu ditangannya. Laki-laki yang ditengah sungai itu berusaha untuk keluar tetapi laki-laki yang dipinggir suangai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya,”siapakah itu ?”, aku beritahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR.Bukhary)
            “Jabir berkata bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,”mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim)
D.    Macam-Macam Riba
1.      Riba Fadhl
Riba Fadhl yaitu jual-beli Ribawi dengan barang yang sejenis disertai dengan penambahan nilai pasa salah satunya.
2.      Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah jual-beli barang dengan barang sejenis atau dengan jenis lainnya disertai penambahan pada takaran atau timbangan (pada salah satunya) sebagai kompensasi penangguhan penerimaan
3.      Riba Qaradh
Riba Qaradh yaitu meminjamkan sesuatu yang boleh dipinjamkan dengan syarat disertai penambahan saat pengembalian sebagai imbalan peminjaman, seperti menempati rumah atau menaiki kendaraannya.
4.      Riba jahiliyah
Riba Jahiliyah yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Ibnu Al-Qayyim mengklasifikasikan Riba menjadi 2 yaitu:
a.       Riba khafi (samar)
Riba khafi (samar) ini haram karena merupakan sarana menuju Riba jail (yang nyata). Jadi, pengharamannya termasuk dalam kategori pengharaman sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepada tujuan. Ini adalah Riba Fadhl. Sebab jika menjual satu dirham dengan dua dirham, maka cara ini akan melahirkan keuntungan yang tertangguh, dan ini adalah pangkal dari Riba Nasi’ah. Karena itu diantara kebijaksanaan Allah adalah menutup jalan ini bagi mereka, dan ini adalah kebijakan yang sangat logis.


b.      Riba Jali (jelas)
Riba jail (jelas)yaitu riba Nasi’ah, yakni Riba yang dahulu biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah. Pada umumnya, Riba ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang terdesak kebutuhan, lalu harta yang dipinjam itu bertambah nilainya dari pokok pinjaman yang harus ditanggung oleh orang yang membutuhkan itu tanpa ada manfaat yang diperolehnya. Akhirnya, ia terlilit banyak utang. Maka, diantara rahmat Allah kepada para makhluknya, mengharamkan praktik ini. [3]

E.     Prinsip-Prinsip Riba
Prinsip-prinsip untuk menentukan adanya Riba di dalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah SAW:[4]
a.       Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai, mengandung unsure Riba. Contoh: adanya unsure riba didalam pertukaran satu ons emas dengan setengah ons emas.
b.      Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda nilai atau harganyadan dilakukan secara kredit, mengandung unsure riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsure riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
c.       Pertukaran barang yang sama nilai atau harganya, tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit, mengandung unsure riba. Tetapi ababila pertukaran dengan cara dari tangan ke tangan secara tunai, maka pertukaran tersebut terbebas dari unsure riba. Contoh: jika satu ons emas mempunyai nilai sama dengan satu ons perak, kemudian dinyatakan sah apabila dilakukan pertukaran dari tangan ke tangan secara tunai. Sebaliknya, transaksi ini dinyatakan terlarang apabila dilakukan secara kredit karena adanya unsure riba.
d.      Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari riba, sehingga diperbolehkan. Contoh: garam dengan gandum, dapat dipertukarkan, baik dari tangan ke tangan maupun secara kredit, dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
c.       Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari unsure riba sehingga sah. Contoh: perhiasan emas ditukar dengan emas atau gandum ditukar dengan tepung gandum.
d.      Didalam perekonomian yang berzaskan uang, dimana harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu Negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, keduanya terbebas dari riba, dan oleh karenanya diperbolehkan. Contoh: satu grade gandum dijual seberat 10 kg per dolar, sementara grade gandum yang lain 15 kg per dolar. Kedua grade gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya ribakarena transaksi itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau beratnya.

F.     Riba dalam jual-Beli
1.      Jual-Beli Yang Diharamkan Karena Mengandung Unsur Riba
Telah dikemukakan tentang pengertian riba, baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Yaitu penambahan nilai pada sesuatu yang khusus. Artinya, tidak setiap pertambahan nilai dianggap riba dalam syariat, dan tidak setiap pertambahan dalam jual-beli dianggap riba. Bila barang dagangannya termasuk yang boleh ditambahkan nilainya, maka tidak apa-apa. Misalnya, anda menjual sebuah mobil dengan dua buah mobil, maka itu tidak apa-apa, begitu pula bila anda menjual sebuah buku dengan dua buah buku, maka itu tidak apa-apa, karena tidak setiap pertambahan adalah riba.
Namun, tambahan yang menjadi riba adalah jika terjadi akad jual-beli diantara dua barang yang haram dilebihkan salah satunya, misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, terigu dengan terigu, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, dan diqiyaskan dengan semua barang yang memiliki kesamaan ‘illah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ‘illah (sebab)nya:
Ulama madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah  berpendapat, ‘illah pada keempat barang tadi (yaitu terigu, kurma, gandum dan garam) adalah takaran, sedangkan ‘illah pada emas dan perak adalah timbangan. Sementara ulama madzhab maliki berpendapat, ‘illah pada keempat barang tadi adalah karena kesemuanya merupakan makanan pokok dan dapat disimpan lama, sedangkan ‘illah pada emas dan perak adalah standar nilai atau inti nilai. Jadi, ‘illahnya terbatas pada emas dan perak saja.


            Menurut pendapat Syaikul Islam dalam Al-Ikhtyarat , ‘illah pada ke empat barang tadi adalah sebagai makanan pokok yang bisa ditakar atau ditimbang, sedangkan ‘illah pada emas dan perak adalah karena sebagai standar nilai. Berdasarkan hal ini, ‘illahnya bisa menjalar kepada selain emas dan perak, seperti uang koin dan uang kertas.
            Syech Ibnu Utsaimin berkata “ yang paling mendekati kebenaran, bisa dinyatakan bahwa ‘illah pada emas dan perak adalah karena keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai mata uang maupun bukan. Dalil yang menunjukkan bahwa riba bisa terjadi pada emas dan perak walaupun bukan sebagai mata uang, adalah hadis yang menceritakan tentang kalung yang diriwayatkan oleh Fadhalah Bin Ubaid, “ Ia membeli sebuah kalung yang mengandung emas da manik-manik seharga dua belas dinar, lalu ia memisahkannya (memisahkan emasnya), ternyata ia mendapatinya lebih banyak ( dari harga yang diberikan), maka Nabi melarang kalung itu diperjual belikan kecuali setelah dipisahkan “.
            Sebagaimana diketahui, kalung tidak termasuk alat pembayaran. Karenanya itu riba bisa terjadi pada emas dan perak secara mutlak, baik sebagai mata uang (alat pembayaran) tibr (belum diolah), maupun perhiasan bagaimanapun kondisinya. Dan riba tidak terjadi pada besi, timah, kuningan, berlian dan barang tambang lainnya.
            Adapun ‘illah pada ke empat barang tadi adalah karena semuanya ditakar dan sebagai makanan pokok yakni bahwa ‘illahnya terdiri dari dua hal, yaitu biasa ditakar dan sebagai makanan. Sebab memang demikian kenyataannya, yaitu semua itu biasa ditakar dan sebagai makanan. Pengaruh perselisihan ini tampak pada beberapa contoh berikut: bila seseorang menjual satu sak tepung dengan dua sak tepung, bila kami mengatakan bahwa ‘illahnya adalah takaran, maka itu tidak boleh, tapi bila kami katakana bahwa ‘illahnya sebagai makanan, maka itu boleh. Begitu pula bila kami katakan bahwa ‘illahnya sebagai barang yang biasa ditakar sekaligus sebagai makanan, maka ini juga boleh.
            Bila seseorang menjual buah-buahan dengan buah-buahan yang sejenis dengan menambahkan pada salah satunya, bila engkau mengatakan bahwa ‘illahnya karena sebagai makanan, maka ini tidak boleh, tapi bila kami mengatakan,’illahnya adalah takaran, maka ini boleh. Begitupula bila kami mengatakan bahwa ‘illahnya adalah karena biasa ditakar sekaligus sebagai makanan, maka ini juga boleh. Jadi, contoh-contoh tadi bertumpu pada perbedaan pendapat mengenai batasan ‘illah.
            Bila seseorang mengatakan: kami bisa menerima bahwa ’illah  pada tepung, gandum, dan kurma adalah karena sebagai makanan, tapi bagaimana tentang garam? Syaikhul Islam Rahimahullah menjawab, “garam membuat makanan menjadi layak dimakan, dan ia mengikuti (seolah-olah bagian yang tak terpisahkan dari makanan). Karena itu, ada yang mengatakan, ‘penggunaan tata bahasa dalam perkataan adalah laksana garam pada makanan.’ Jadi, garam itu bagian yang tak terpisahkan dari makanan. Berdasarkan alasan ini, maka ribapun bisa terjadi pada rempah-rempah (bumbu-bumbu) yang biasa digunakan untuk menyedapkan makanan, karena merupakan penyertanya.”[5]
2.      Menjual Sesuatu Dengan Yang Sejenis Disertai Tambahan Pada Salah Satunya, atau Dengan Jenis lainnya Secara Nasi’ah(Pembayaran Tempo Disertai Tambahan) Adalah Riba.
Dalam hadist diriwayatkan dari Ubaidah bin Ash-Shamit, Rasulullah SAW bersabda:
“janganlah kalian menjul emas dengan emas, perak dengan perak, terigu dengan terigu, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma atau garam dengan garam, kecuali sejenis, sama dan tunai. Barang siapa menambah atau meminta tambahan, berarti ia telah melakukan riba. Akan tetapi, juallah emas dengan perak, perak dengan emas, terigu dengan gandum, gandum dengan terigu, kurma dengan garam, dan garam dengan kurma secara tunai sesuka kalian. Adapun secara Nasi’ah (pembayaran bertempo), maka jangan lakukan”
Ibnu Abdil Barr Rahimahullahu berkata: “menurut sejumlah ulama, riba pada barang yang sejenis terjadi karena dua factor yaitu penangguhan dan penambahan. Maka tidak boleh menjual keenam jenis barang itu (yaitu: emas, perak, terigu, kurma, gandum dan garam) dengan barang sejenis kecuali dilakukan secara tunai dan sama, sebagaimana telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Bila jenisnya berbeda, maka boleh dilebihkan, tapi tidak boleh ditangguhkan. Mereka menganalogikan demikian untuk barang lainnya yang serupa dan semakna dengan barang-barang tadi.
Imam Al-Baghawi Rahimahullahu mengomentari hadist diatas bahwasanya:
- Hadits ini berisi penjelasan tentang haramnya melebihkan dan menangguhkan pertukaran barang yang sejenis.
- Hadits ini menunjukkan, bila seseorang menjual perhiasan emas dengan emas, maka cara ini tidak boleh dilakukan kecuali timbangannya sama, tidak boleh minta dilebihkan sebagai kompensasi biaya pembuatan. Karena bila demikian, berarti menjual emas dengan emas yang disertai penambahan.
- hadits ini juga menunjukan bahwa bila seseorang menjual harta riba dengan yang sejenis, dimana keduanya atau salah satunya disertai barang lain, misalnya menjual satu dirham dan satu dinar denga dua dinar atau dengan dua dirham, atau menjual satu dirham dan satu pakaian dengan dua dirham atau dengan satu dirham dan satu pakaian, maka ini tidak boleh. Karena perbedaan jenis pada satu barang yang ditransaksikan harus dipisahkan sehingga bisa dibandingkan dengan penukarnya berdasarkan nilainya, dan ketika dipisahkan tampak adanya kelebihan. Atau bisa juga menyebabkan ketisak jelasan tentang kemasan nilainya pada saat transaksi, padahal ketidakjelasan tentang kemasan nilai dalam penjualan harta riba dengan barang sejenisnya sama dengan kepastian adanya pertambahan dalam hal merusak jual-beli. Demikian pendapat sebagian sahabat Nabi. Ini juga pendapat Syuraih, Ibnu Sirin dan Ibrahim An-Nakha’i. begitu pula pendapat Ibnu Al-Mubarak, Asy-Syafi’I, Ahmad dan Ishaq.
- Diantaranya, tidak boleh menukar emas lama dengan emas baru disertai tambahan karena perbedaan. Misalnya, seorang perempuan memberikan 100 dirham emas lama kepada tukang emas dengan meminta ditukar dengan 200 dirham emas baru, lalu perempuan itu memberikan beberapa pound untuk membayar selisih harganya. Ini adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan.[6]

G.    Perbedaan Bunga Dan Bagi Hasil
Kecenderungan masyarakat menggunakan sistem bunga (interest atau usury) lebih bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kepentingan pribadi, sehingga kurang mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Berbeda dengan bagi hasil, sistem ini berorientasi pemenuhan kemaslahatan hidup umat manusia.
Adapun perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dijelskan lebih jauh dalam table berikut: [7]

Bunga
Bagi hasil
a.    Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.    Penentuan besarnya rasio/nisab bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b.    Besarnya persentase pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
b.    Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.    Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c.    Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
d.   Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
d.   Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

e.    Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk islam.
f.     Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.


            Gambaran Terjadinya Riba:
Jenis Transaksi

Jual-beli
Beli
Jual
Kelebihan
Ket.
100.000
120.000
20.000
Laba


Pinjaman
Pinjam 
Kembali
Kelebihan
Ket.
100.000
120.000
20.000
Riba 



H.    Dampak Riba
Dampak adanya riba di tengah-tengah masyarakat tidak saja berpengaruh dalam kehidupan manusia :
1.      Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerjasama denga sesame manusia. Dengn mengenakan tambahanKepada peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu kesulitan orang lain.
2.      Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu ke waktu. Keadaan ini menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan kreativitas  dalam bekerja.
3.      Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menuntut pembayran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama. Menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.
4.      Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Bagi orang yang mempunya pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai pendatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan bunga yang  akan dibayarkan.
5.      Riba pada kenyataannya pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak berniai lagi, maka nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijadikan komoditas.
6.      Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinfestasi investor kan memperhitungkan besarnya harga pinjaman bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi yang tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi maka akan mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi.[8]

I.       Bunga , Riba, dan Masyarakat Kita
Perkembangan lembaga keuangan syari’ah dengan berbagai instrument yang ada menimbulkan optimism akan perubahan sikap masyarakat terhadap keberadaan riba, tetapi masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba.alasan-alaswan tersebut di antaranya adalah:
1.    Diterima atau tidak diterimanya bunga sebagai riba berhubungan erat dengan masalah emosi keagamaan masyarakat. Setiap membicarakan bunga sebagai riba akan melibatkan “keyakinan” masyarakat terhadap kedudukan bunga sebagai riba. Keyakinan ini yang menjadikan justifikasi bagi beberapa pihak untuk menerima atau menolak bunga sebagai riba atau tidak. Karenanya bicara keberadaan bunga sebagai riba kadang kala oleh sementara pihak akan menyinggung keyakinan pihak lain-yang mengaggap bunga bukan riba-dan ini akan menimbulkan sikap emosional dalam memposisikan keberadaan pelarangan riba. Hal ini yang menyebabkan sukarnya menjelaskan mengapa riba itu dilarang.
2.    Selain riba, ada maysir (penjudian) dan gharar (ketidakpastian). Selain praktek riba yang dilarang, praktek maysir  dan gharar dilarang dalam islam. Popularitas riba diakibatkan posisi riba lebih banyak digunakan untuk melegitimasi haramnya bunga. Sehingga praktek gharar dan maysir yang sebenarnya perlu disejajarkan dengan masalah riba kurang begitu mendapatkan perhatian. Dan ini lebihg dikarenakan maysir dan gharar untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek perbankan yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga kadangkala keberadaan larangan riba dalam perbankan dipandang semata-mata sebgai antithesis dari keberadaan bunga, dan lebih mengkhawatirkan pemahaman ini memposisikan pelarangan riba bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tetapi possisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.
3.    Kritis yang berlebihan terhadap lembaga keuangan syri’ah. Sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba kelebihan terhadap permasalahan lembaga keuangan syari’ah, tetapi tidak mau lebih jauh mengetahui ada apa dibalik permasalahan dilembaga keuangan syari’ah. Sedikit masalah dalam lembaga keuangan syari’ah mendapat perhatian yang besar disbanding dalam lembaga keuangan konvensional walaupun derajat permasalahannya sama.
4.    Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai bagian instrument moneter dari sistem keuangan didalam suatu Negara. Hal ini diakibatkan sebagian akademisi mengambil rujukan dari beberpa literature konvensional.






BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai riba maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil atau secara tidak benar. Adapun pembagian riba yakni riba khafi (samar) dan riba jail (nyata).
Adapun hukum-hukum riba telah nyata dijelaskan di atas mengenai pelarangan atau keharamannya. Banyaknya  pendapat ulama tentang perkara riba mengenai keharamannya, maka kita sebagai umat islam harus berhati-hati agar tidak terjerumus kedalam jual-beli yang mengandung unsur riba.














DAFTAR PUSTAKA
            Kamal bin As-Sayyid Salim, Abu Malik. 2006. Shahih Fiqih Sunnah, (Pustaka At-Tazkia: Jakarta.
            Sudarsono, Hery.2007.Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Ekonisa:Yogyakarta)
            ‘Uwaidah, Kamil Muhammad.2002.Fiqih Wanita, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta)



[1] Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Ekonisa:Yogyakarta, 2007), h.13
[2] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah,  Fiqih Wanita, (Pustaka Al-Kautsar:Jakarta,2002), h. 616.
[3] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Pustaka At-Tazkia: Jakarta, 2006), h. 428.
[4] Heri Sudarsono, op.cit.,h.15
[5] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Op.cit.,h. 445
[6] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Op.cit.,h. 454-456

[7] Heri Sudarsono, op.cit.,h.20-21





[8] Heri Sudarsono  Ibid., h.21-22