Jumat, 04 Mei 2012

OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BAGI HASIL: SEBAGAI UPAYA MEMBERDAYAKAN UMKM YANG BERKEADILAN

PENDAHULUAN
      Sejarah perkembangan industri perbankan syariah tak terlepas dari keluarnya peraturan tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan sistem bagi hasil di Indonesia, UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabang nya, dan terbitnya UU No 23 tahun 1999. Perkembangan selanjutnya adalah keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang mencapai 300 miliar rupiah. Perkembangan selanjutnya dengan tumbuhnya industri perbankan syariah yang dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia.
Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah; (2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah.(3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll
Berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan  bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah (Muhammad, 2005). Kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudharabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil, return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh sektor riil. Hal ini berarti keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil, Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2007)
Produk Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
Dalam penyaluran produk pembiayaan bagi hasil bank syariah terdapat dua jenis akad, yaitu musyarakah dan mudharabah.
a.       Akad Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Menurut Partahian (2006) Mudharabah adalah adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama) menyediakan modal sepenuhnya sedangkan mudharib (pihak kedua) menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka. Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana usaha yang akan dijalankan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha (Syafii Antonio, 2001).
b.      Akad Musyarakah
Musyarakah adalah adalah perjanjian pembiayaan antara bank Syariah dengan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan dimuka. Untuk itu dapat diberlakukan perjanjian usaha patungan diantara pengusaha. Dalam musyarakah, keuntungan dan kerugian dibagi menurut proporsi yang telah ditentukan sebelumnya, sesuai dengan prinsip Profit and Loss Sharing Principle.
Perbedaan yang mendasar antara  musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi dana atau modal yang disertakan. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak yaitu pihak bank sebagai sahibul mal dengan penyertaan modal 100 persen, sedangkan dalam musyarakah penyertaan modal berasal dari dua pihak atau lebih yang besarnya ditentukan diawal kesepakatan secara bersama.
Realitas Pembiayaan
      Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Dalam statistik perbankan syariah bulan November 2007, porsi produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 58,93 persen dan piutang istishna’ mencapai 1,26 persen, sementara proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 16,06 persen dan pembiayaan mudharabah sebesar 20,49 persen. Selain itu perannya untuk memberdayakan perekonomian ummat secara keseluruhan tidak berjalan dengan optimal, karena pembiayaan masih fokus pada sektor jasa yang cenderung menggunakan skema pembiayaan non-bagi hasil mencapai 31,16 persen sedangkan untuk sektor industri mencapai 4,94 persen, dan sektor pertanian mencapai 2,40 persen.
      Rendahnya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank syariah umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil (Muhammad, 2005) dalam (Akhbar, 2006), sedangkan faktor yang lain adalah masalah yang ditimbulkan karena moral hazard dan adverse selection (khalil, Rickwood, dan Muride, 2000) dalam (Akhbar, 2006). Selain itu rendahnya total asset bank syariah yang market share sebesar 1,77 persen dari perbankan nasional menyebabkan bank syariah harus berhati-hati dalam menyalurkan dananya ke nasabah.
Rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah disebabkan oleh beberapa hal, menurut Muhammad (2005), beberapa alasan yang menjelaskan tingginya prosentase pembiayaan murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah:
 Pertama, Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem bagi hasil, cukup memudahkan.
Kedua, Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis suku bunga yang menjadi saingan bank syariah.
Ketiga, Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem bagi hasil.
Keempat, Murabahah tidak memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
Sedangkan menurut Iman Sugema (2006), menyebutkan bahwa rendahnya pembiayaan bagi hasil terutama disebabkan adanya asymmetric information dan administrative problem (non-standardized accounting, bad debt). Asymmetric information  adalah kondisi yang menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi yang dilakukan agen (pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk moral hazard dan adverse selection. Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah (1999) dalam Ahmad Sumiyanto (2005) mengidentifikasikan faktor- faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang menarik bagi bank syariah antara lain;
Pertama, Sumber dana bank syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menngunakan sistem bagi hasil , hal ini terjadi karena pengusaha beranggapan bahwa kredit dengan menggunakan sistem bunga lebih menguntungkan dengan jumlah perhitungan yang sudah pasti, sehingga pada umum nya yang banyak mengajukan pembiayaan bagi hasil adalah usaha dengan keuntungan yang relatif rendah. Ketiga, pengusaha dengan bisnis yang berisiko rendah enggan meminta pembiayaan bagi hasil, kebanyakan pengusaha yang memilih pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang berbisnis dengan risiko tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, keempat, untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi dan mendorong pengusaha untuk membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Kelima, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan besar.
                Selain itu permasalahan rendahnya pembiayaan bagi hasil  menurut para ahli perbankan[1] dalam (Ascarya, 2005) disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
          a.         Internal bank Syariah
1.      Kualitas Sumbar Daya Insani (SDI) belum memadai untuk menangani proyek bagi hasil.
2.      Bank Syariah belum mampu menanggung resiko besar.
3.      Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan seperti institusi usaha pada umumnya.
4.      Adverse Selection, karena Asymetric Information antara kedua belah pihak.
5.      Tidak adanya Personal Guarantee dan Collateral pada nasabah.
6.      Biaya informasi yang meningkat, terutama untuk pembiyaam mudharabah.
7.      Keterbatasan peran bank sebagai investor, terutama untuk pembiayaan mudharabah.
         b.         Nasabah bank syariah
1.      Sebagian nasabah sudah terbiasa dengan system bunga bank.
2.      Moral hazard, karena pengusaha enggan menyampaikan laporan keuangan/keuntungan sebenarnya untuk menghindari pajak atau bagi hasil.
3.      Permintaan pembiayaan bagi hasil yang masih kecil dari nasabah.
          c.         Regulasi
1.      Kurangnya dukungan dari regulator, karena tidak melakukan inisiatif-inisiatif untuk mengadakan perubahan peraturan dan institusional yang diperlukan untuk mendukung bekerjanya system perbankan syariah dengan baik
2.      Tidak adanya institusi pendukung untuk mendorong penggunaan bagi hasil.
3.      Tidak adanya prosedur operasional yang seragam.
         d.         Pemerintah
1.         Tidak ada kesepahaman dalam aturan-aturan syariah dan proyek-proyek pendukung yang mendorong penggunaan bagi hasil untuk proyek-proyek pemerintah.
2.         Pemberlakuan pajak yang tidak adil pada keuntungan sebagai objek pajak, sedangkan bunga bebas dari pajak.
3.         Pasar sekunder instrumen keuangan syariah belum ada, sehingga bank kesulitan dalam menyalurkan atau mendapatkan akses likuiditas sesuai syariah.
4.         Hak kepemilikan belum jelas, karena pembiayaan PLS memerlukan hak kepemilikan yang jelas dan berlaku efisien.
Selain itu keterbatasan asset bank syariah yaitu sebesar 1,77 persen dari keseluruhan total asset perbankan menyebabkan bank syariah harus lebih berhati-hati dalam melakukan pembiayaan, khususnya pembiayaan bagi hasil sehingga kemampuan berinvestasi bank syariah terhambat.
Menurut Irfan Syauqi Beik, (2006) tingginya pembiayaan non-bagi hasil merupakan kelemahan dari perkembangan pembiayaan bank syariah, karena:
Pertama, skema murabahah, dan juga ijarah, sesungguhnya merupakan fixed return modes, dimana kalau kita mau jujur bahwa yang membedakan secara prinsipil antara bank Islam dan bank konvensional diantaranya adalah terletak pada prinsip risk-profit sharing-nya.
Kedua, skema murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat.
Ketiga, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Selain itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan manajemen risiko.
Tingginya porsi Pembiaayaan berbasis bagi hasil menurut Irfan Syauqi Beik, (2006) mempunyai beberapa keunggulan, yaitu :
Pertama, Pembiayaan musyarakah dan mudharabah akan menggerakkan sektor rill karena pembiayaaan ini bersifat produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Jika investasi di sektor riil  meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kedua, Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensioanal. Nasabah akan membandingkan antara expected rate of return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Dimana selama ini, kecenderungannya rate of return bank syariah lebih tinggi daripada suku bunga bank konvensional. Dengan demikian diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah nasabah di bank syariah. Ketiga, Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank syariah. Keempat, Pola pembiayaan mudharabah dan musyarakah adalah pola pembiayaan berbasis produktif yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan sektor riil sehingga kemungkinan terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi.
Selain itu, dengan mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil bank syariah dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan distribusi pendapatan dan memberdayakan ekonomi masyarakat
Orientasi Ke Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah
Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga. Selain itu faktor ukuran atau skala usaha bank syariah yang tidak sebesar perbankan konvensional membuat bank syariah lebih fokus ke sektor UMKM dengan skala usaha lebih kecil, di lain sisi ketertarikan UMKM memilih sistem pembiayaan syariah terkait dengan ketersediaan kolateral yang tidak seketat konvensional dan sifat gain sharing, risk sharing, lebih menarik bagi UKM. Namun, menurut Isha Ashari (2007) ada beberapa kerakteristik dan ciri khas yang menjadi keunggulan Usaha Mikro Kecil Menengah, yaitu :
Pertama, skala usaha yang kecil memungkinkan untuk beradaptasi dengan cepat dan responsive terhadap lingkungan bisnis yang bergejolak. Kedua, lebih fleksibel, sehingga memiliki lebih banyak peluang untuk berinovasi dan bereksperimen. Ketiga, memiliki banyak sumber keunikan yang berbasis budaya setempat. Keempat, dapat memanfaatkan peluang kecil yang ada. Kelima, mudah untuk bangkit kembali, bila menghadapi kondisi bisnis yang kurang menguntungkan.
Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian ummat apabila mampu mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil dalam penyaluran dananya ke nasabah, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 102,65 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 66,01 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal. Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70 persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang hanya mencapai 30 persen. Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena  jumlah populasi UKM pada 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2 triliun ( www.menkokesra.go.id).




SOLUSI PERMASALAHAN
            Upaya untuk mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Menurut Muhammad Imadudin (2005), upaya untuk mengoptimalkan mudharabah pada bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah:
Pertama, Kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha tersebut.
Kedua, Pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Industrialisasi adalah salah satu kunci penting bagi negara kita untuk dapat survive di saat krisis seperti ini, dan melatih bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.
Ketiga, Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip syariah.
Terkait dengan masalah Asimetric information, Presley & Session mengenalkan konsep incentive-compatible constraint yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama, higher stake of net worth, kedua hight operating risk firms have higher leverage, ketiga lower fraction of unobservable cash-flow; dan keempat  lower fraction of non-controllable cost.
Model ini diadopsi oleh Karim (2000) dalam Muhammad (2005) untuk mengendalikan penerapan pembiayaan mudharabah di Bank Muammalat Indonesia dengan mengurangi kemungkinan terjadinya risiko asimetric information dengan menerapkan batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib, yaitu: pertama, menerapkan batasan agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan atau mengenakan jaminan.
Kedua, menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah, Ketiga, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan, Keempat, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrol nya rendah.
Menurut Ahmad Sumiyanto (2005) model-model untuk mengurangi risiko asimetric information tersebut diatas  dapat dijelaskan secara lebih detail yaitu;
1.      Higher Stake In Net Worth, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; (1) penetapan praktiknya : syarat yang dapat diterapkan apabila porsi modal mudharib dalam suatu usaha lebih tinggi, insentifnya untuk berlaku berlaku tidak jujur akan berkurang dengan signifikan, karena pengusaha juga akan menanggung kerugian atas tindakannya. (2) penetapan agunan berupa fixed asset pengenaan jaminan juga akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikan itu menjadi harga dari penyelewengan perilakunya (character risk). (3) penggunaan pihak penjamin; seringkali bank sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib, oleh karena itu bank dapat meminta agar calon mudharib menyediakan pihak penjamin yang mengenal calon mudharib, dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon mudharib. (4) penggunaan pihak pengambil alih utang: Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang disebabkan character risk calon mudharib.
2.      Lower Operating Risk, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; penetapan rasio maksimal fixed asset terhadap total asset, hal ini dimaksudkan agar dana mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan.
3.      Unobservable Cash Flow, dalam praktik syarat dapat diterapkan berupa;
Pertama, monitoring secara acak atau inspeksi secara mendadak karena bisnis mudharib arus kas nya tidak dapat diketahui secara transparan oleh pemilik dana. Metode ini biasanya di terapkan pada; (1) bisnis yang skala usahanya tidak cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik, (2) bisnis yang musiman atau berjangka pendek. Kedua, monitoring secara periodik, Dalam metode ini, mudharib di dorong untuk menyiapkan laporan periodik atas bisnis yang di biayai oleh dana mudharabah. Ketiga, melibatkan pihak ketiga sebagai auditor  yang akan memeriksa kebenaran laporan keuangannya.
4.      Non-controllable Cost, dalam praktiknya syarat yang diterapkan adalah;
(1)   Revenue sharing, metode ini dilakukan untuk mengurangi timbulnya perselisihan terutama atas biaya-biaya yang timbul. (2) Penetapan minimal profit marjin; metode ini di lakukan untuk mengantisipasi adanya indikasi bahwa mudharib lebih mementingkan volume penjualan yang besar dengan mengorbankan tingkat profit marjinnya sehingga dapat merugikan pihak bank sebagai pemilik dana.
Penerapan manajemen risiko merupakan salah satu upaya untuk mengotimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Penerapan manajemen risiko ini terkait untuk mengantisipasi berbagai macam risiko yang potensial akan muncul dalam pembiayaan bagi hasil, diantaranya risiko kredit, dan risiko pasar (tekait usaha yang dibiayai).
Menurut Muhammad (2005) penerapan manajemen risiko dapat diawali dengan melakukan penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang dibiayai, karena manajemen pembiayaan bank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan proyek yang akan dibiayai. Menurut Muhammad (2005), risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek; (I) faktor skill, meliputi kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko bisnis, mampu melakukan usaha yang berkelanjutan, mampu mengartikulasi bahasa bisnis. (II) faktor reputasi, meliputi track-recod baik sebagai karyawan, direkomendasikan sumber terpercaya, memiliki jaminan usaha. (III) faktor asal usul, meliputi memiliki hubungan keluarga atau persahabatan dengan investor, sebagai pebisnis yang sukses, berasal dari kelas social terpandang. Sementara itu risiko terhadap proyek atau usaha terjadi karena ; pertama, kemungkinan terjadinya kebangkrutan bisnis dan yang kedua adalah jaminan yang diberikan oleh nasabah atas besarnya pembiayaan yang terima.
Sedangkan untuk meminimalisasi risiko asimetric information dan menekan biaya monitoring pada pembiayaan bagi hasil ke sektor UMKM, bank syariah dapat melakukan pola kemitraan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yaitu dengan menggunakan model Lingkage Program yang sudah di kenalkan oleh Bank Indonesia, Model Lingkage Program ini terdiri dari Executing (Pembiayaan ke LKMS dengan equity financing), Join Financing (pembiayaan bersama), atau Channeling. Pola kemitraan dengan Lembaga keuangan mikro ini di lakukan karena lembaga keuangan mikro (BPRS, Koperasi Syariah, BMT) yang tersebar di seluruh pelosok wilayah lebih mengenal kebutuhan jasa keuangan, karakter, adat istiadat dan sifat nasabah setempat, khususnya UMKM sehingga potensi munculnya risiko kredit macet dapat di tekan, selain itu dengan pola kemitraan ini diharapkan dapat menekan biaya monitoring perbankan, karena lembaga keuangan mikro dapat berperan sebagai auditor atau pengawas dan pendamping  usaha nasabah dengan efektif dan efisien, karena letak usahanya lebih dekat dengan tempat usaha nasabah yang di biayai.
Menurut Ascarya (2005) alternatif solusi untuk pemecahan masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil bank syariah terdapat beberapa macam alternatif, yaitu :
a.       Internal bank syariah
1.      Peningkatan jumlah dan pemahaman/kualitas Sumber Daya Insani bank syariah
2.      Pengembangan Produk yang menarik, aplikatif dan simpel  
b.      Nasabah bank syariah
Sosialisasi perbankan syariah dan produknya ke masyarakat
c.       Pemerintah dan Regulasi
1.      Revisi semua regulasi yang kurang mendukung, memberlakukan system insentif, dan atau menerapkan regulasi tegas
2.      Menata kembali fungsi, struktur, dan hubungan DSN, DPS, BI (konsultan, jika memungkinkan) agar tercipta sinergi yang harmonis.
Sedangkan menurut Muhammad Imaduddin (2005) dalam (Republika Online, 2007) terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan bank syariah dalam mengembangkan produk bagi hasil, yang intinya bekerjasama dengan pihak lain dalam menanggung risiko, antara lain:
1.        Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah dan mudharabah.
2.        Melibatkan  LAZ yang amanah dan profesional sebagai penjamin usaha nasabah.
3.        Bank syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan baik prospeknya untuk dikembangkan, tidak hanya sekedar ada jaminan saja yang layak dikembangkan.
4.        Bank syariah juga sebaiknya memiliki jiwa entrepreneurship , artinya, mereka juga harus memiliki jiwa pengusaha yang berani mengambil risiko sesuai kemampuan.
Ketersediaan asset bank syariah ternyata berhubungan positif dengan tingkat penyaluran produk pembiayaan bagi hasil kepada nasabah. Oleh karena itu, dengan kondisi tingkat Suku bunga sekarang ini yang terus turun pada kisaran 8 persen, sebenarnya merupakan momentum yang tepat bagi bank syariah untuk meningkatkan jumlah assetnya melalui penghimpunan dana dari nasabah, karena bank syariah dapat memberikan expected rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan interest rate bank konvensional. Upaya peningkatan asset bank syariah juga dapat ditempuh melalui peningkatan akses pelayanan bank syariah yang lebih luas ke masyarakat yang dapat dilakukan melalui pembukaan kantor cabang baru beserta infrasruktur pendukung nya. Sehingga dengan peningkatan jumlah asset yang memadai, bank syariah lebih fleksibel dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil untuk memberdayakan UMKM dan berani mengambil risiko dalam melakukan pembiayaan usaha. Selain itu untuk mengatasi permasalahan ketidakcocokan (mistmatch) dana bank syariah, yaitu sumber dana yang bersifat jangka pendek sedangkan dana nya digunakan untuk membiayai proyek bagi hasil yang cenderung bersifat jangka panjang maka diperlukannya suatu hubungan kemitraan dengan lembaga keuangan lain, dalam hal ini peran perusahaan asuransi dan pengelola dana pensiun syariah dapat dijadikan sebuah solusi. Hal ini karena sumber dana asuransi dan dana pensiun yang bersifat jangka panjang sehingga dana masyarakat yang dikumpulkan dapat digunakan untuk pembiayaan proyek bagi hasil dengan mekanisme Join Financing maupun melalui instrumen obligasi yang di terbitkan bank syariah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1.      Berdasarkan prinsip dasar produknya, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan yang berprinsip bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Pembiayaan ini bersifat produktif karena di investasikan untuk penyediaan modal kerja sehingga dapat memberdayakan perekonomian ummat yang mencerminkan prinsip keadilan melalui pembukaan lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakan dan mengurangi tingkat pengangguran.
2.      Pengembangan industri perbankan syariah kedepan seharusnya tidak hanya dilihat dari pertumbuhan jumlah total asset nya saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat, hal ini dapat tercapai apabila bank syariah tetap berpegang kepada produk yang telah menjadi ciri khasnya yaitu musyarakah dan mudharabah dengan tanpa adanya jaminan karena pada prinsip nya pembiayaan bagi hasil bersifat trust financing
3.      Pembiayaan bagi hasil dapat memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan sektor riil, khususnya UMKM yang menjadi indikator kemajuan roda perekonomian negara melalui kegiatan investasi
4.        Rendahya porsi pembiayaan bagi hasil di bank syariah di Indonesia dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu rendahnya jumlah dan tingkat kualitas Sumber Daya Insani di bank syariah untuk menangani pembiayaan proyek yang berprinsip  bagi hasil serta tingginya risiko yang ada pada pembiayaan bagi hasil.


Saran
1.        Diperlukan sosialisasi yang menyeluruh tentang produk perbankan syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan pembiayaan bagi hasil dapat dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan layanan bank syariah.
2.        Diperlukan semacam apresiasi dan insentif kepada bank syariah yang efektif menyalurkan produk pembiayaan bagi hasil melalui penilaian kinerja, maupun insentif yang berupa pemotongan pajak bagi hasil keuntungan.
3.        Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang paham tentang perbankan syariah yang mampu menangani proyek-proyek bagi hasil, karena selama ini proyek-proyek yang dibiayai oleh bank syariah adalah yang bergerak di sektor jasa, perdagangan, perhotelan yang cenderung menggunakan mekanisme pembiayaan non bagi hasil.

DAFTAR  PUSTAKA
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia.
Akhbar, Burhan. 2006. Sinergisme Konsep Corporate Governance dan Konsep Distribusi Nila Tambah Dalam Upaya Meminimalisasi Permasalahan Agensi Pada Pembiayaan Mudharabah. Karya Tulis disampaikan pada LKTI Temu Ilmiah Nasional Universitas Jenderal Soedirman.
Sumiyanto, Ahmad. 2005. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah. Yogyakarta : Magistra Insania Press.
Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Sugema, Iman. 2007. Islamic Banking: The Fact and Challenges. Makalah disampaikan dalam SEconD 2007. Jakarta: Forum Studi Islam FE UI 13 Feb 2007
Diana Yumanita, Ascarya. 2005. Mencari Solusi Rendahya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan  Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan November 2007. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah tahun 2006 . Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia
Partahian Lase, Risanto. 2006. Laporan Pengenalan Bisnis PT Bank Mandiri. Yogyakarta: UKI Yogyakarta.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Bank Syariah Sang Enterpreneur. Inggris: Leicestershire. dalam www.pesantrenvirutal.com.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Mudharabah dan Optimalisasi Sektor Riil, dalam www.republika.co.id.
Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.
Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007.
Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam www.bisnis.com.
Ashari, Isa. 2007. Kebijakan Pemerintah (Dinas Perindustrian Perdagangan Penanaman Modal Kota Magelang) dalam Memberdayakan UMKM dan Ekonomi Islam. Makalah disampaikan dalam Seminar Musyawarah Regional 2007. Magelang: LSEI Universitas Muhammadiyah Magelang 30 Juni 2007.
Republika.co.id. 2005. situs resmi harian Republika.
http://www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/


[1]Diantaranya Chapra (2000), Iqbal dan Llewllyn (2002), Mulyawan (2001), Al-jarhi (2002), Parinduri (2003),Algaoud dan Lewis (2003) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar