Kamis, 03 Mei 2012

Sistem Pembiayaan Bank Syariah

Uang Muka dalam Pembiayaan Murâbahaħ
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu: (a) Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yakni peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. (b) Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Pembiayaan Murâbahaħ dilihat dari jenis akad dalam produk pembiayaan syariah termasuk pembiayaan konsumtif, yaitu jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya bersifat individual atau perorangan.
Adanya uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ adalah untuk mengantisipasi risiko dalam pembiayaan. Yang dimaksud dengan risiko dalam pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan pihak lawan (counterparty) dalam memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti pembiayaan (penyediaan dana), treasury dan investasi, dan pembiayaan perdagangan yang tercatat dalam banking book atau trading book. Dalam bank syariah, risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait pembiayaan korporasi.
Dalam praktek pembiayaan Murâbahaħ di bank syariah, bank bukan merupakan penjual barang akan tetapi penjual jasa, sehingga produk-produk yang diminati nasabah belum dimiliki oleh bank, dalam kondisi ini digunakan sistem Murâbahaħ kepada pemesan pembelian. Hal ini disebabkan bank semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya.
Ide tentang jual beli Murâbahaħ kepada pemesan pembelian (KPP) berakar pada alasan mencari pembiayaan. Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan aset atau modal kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya, pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow) yang bersangkutan.
Murâbahaħ dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai Murâbahaħ kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al amir bisysyira. Bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi atau biasa disebut uang muka ketika ijab-kabul. Hal ini sekedar menunjukkan bukti keseriusan pembeli. Uang muka inilah yang menjadi jaminan ganti rugi bila nasabah membatalkan transaksi Murâbahaħ. Dalam Murâbahaħ yang berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.
Harus dicatat bahwa kontrak Murâbahaħ umumnya ditandatangani sebelum bank syariah mendapatkan barang yang dipesan oleh nasabah (yaitu sebelum kedatangan barang di gudang bank). Menurut kontrak, nasabahlah yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan pengimporan barang, rasio laba dan spesifikasi yang benar. Nasabah sendirilah yang menanggung semua tanggung jawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran hukum. Bank tidak ingin memikul tanggung jawab yang terkait dengan barang. Oleh sebab itu segala risiko yang terkait dengan barang, yang secara teoritis harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.
Janji pemesan untuk membeli barang dalam Murâbahaħ bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak mengikat, pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu dengan alasan pembeli barang pada saat awal telah memberikan pilihan kepada pemesan untuk tetap membeli barang atau menolaknya. Penawaran untuk nantinya tetap membeli atau menolak dilakukan karena pada saat transaksi awal orang tersebut tak memiliki barang yang hendak dijualnya. Menjual barang yang tidak dimiliki adalah haram karena termasuk bai al-fudhuli.Konteks jual beli Murâbahaħ jenis ini dimana belum ada barang berbeda dengan menjual tanpa kepemilikan barang, oleh karena itu janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat kepada pemesan, nasabah terikat hukumnya dengan adanya pemesanan barang kepada bank.
Dalam kasus pembiayaan Murâbahaħ, terjadi apabila seseorang datang kepada bank syariah untuk meminjam dana untuk membeli produk tertentu, seperti mobil, rumah dan sejenisnya, harus dilakukan melalui transaksi jual beli dengan bank syariah, dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Jika bank memberikan pinjaman (dalam pengertian konvensional) kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, bank tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu, sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, bank syariah tidak mungkin melakukannya, oleh karena itu harus dilakukan akad jual beli, bank syariah mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual dan keuntungan dari jual beli yang dibolehkan oleh Islam.
Dalam kondisi yang demikian, karena bank bukan lembaga penjual barang, transaksi Murâbahaħ ini diawali dengan pemesanan barang dari nasabah kepada bank syariah. Jika nasabah menerima permintaan pemesan suatu barang atau aset, ia harus membeli aset yang dipesan tersebut serta menyempurnakan kontrak jual beli yang sah antara dia dengan bank. Pembelian ini dianggap pelaksanaan janji yang mengikat secara hukum antara pemesan dan pembeli. Pembeli menawarkan aset itu kepada pemesan yang harus menerimanya demi janji yang mengikat secara hukum, kedua belah pihak membuat sebuah kontrak jual beli, dari sinilah pentingnya uang muka sebagai tanda jadi saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
Uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ adalah sebagai bentuk kehati-hatian perbankan syariah untuk meminimalisir risiko penyaluran dana kepada pihak ketiga sesuai dengan arah pengembangan konsep pengaturan yang semakin komprehensif, Bank Indonesia menerapkan konsep regulasi yang berbasis risiko agar selalu beroperasi di dalam rambu-rambu operasional perbankan yang sehat dalam segi keuangan.
Adanya uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ merupakan aplikasi dari manajemen risiko. Penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola kemungkinan kerugian di kemudian hari, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi. Risiko merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan.
Risiko bisnis ini ditunjukkan oleh fakta bahwa dalam suatu kontrak Murâbahaħ pembeli tidak bisa dipaksa untuk membeli barang yang telah dipesannya, bisa saja berubah pikiran ketika tiba saat pengambilalihan barang yang dipesan meskipun barang itu telah memenuhi semua syarat dan standar yang diminta.
Menghilangkan suatu risiko atau kemadharatan adalah suatu keniscayaan, apalagi untuk tetap eksisnya suatu institusi yang mengakses dan melayani kepentingan publik untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya dalam hal ini perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya yang memiliki peran yang sangat urgen dan strategis bagi Islamisasi ekonomi dan sarana dakwah untuk tumbuh kembangnya ekonomi Islam, bahkan diharapkan menguasai pasar global dengan telah terujinya mampu bertahan dari hantaman krisis global bahkan sebagai solusi terbaik untuk keluar dari krisis, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:

“Bahaya (risiko) harus dihilangkan”.
Melindungi atau menghindar dari segala kerusakan sebagai bentuk maslahah merupakan aplikasi dari maqashid al-syariah untuk memenuhi kepentingan dan kebahagiaan umat manusia serta untuk menjaga atau melindungi kepentingan semua orang dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Tujuan atau objective dari syariah di dalam transaksi ekonomi adalah untuk mencapai tujuan yang menyeluruh dan significant yang mengarah kepada tercapainya regulasi syariah yang berhubungan dengan semua kegiatan dan transaksi ekonomi.
Uang muka yang diharamkan dalam jual beli disebabkan apabila tidak terjadi pembelian, uang muka itu hangus dan menjadi milik penjual, sehingga para fuqaha mengkategorikan sebagai makan harta secara bathil, gharar dan bathil, sedangkan uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000 adalah sebagai upaya antisipasi risiko/kerugian yang akan ditanggung oleh lembaga keuangan syariah, artinya uang muka itu tidak serta merta menjadi milik bank syariah, manakala nasabah membatalkan pembelian suatu produk, tetapi tergantung kepada jumlah kerugian yang diderita oleh lembaga keuangan syariah, yaitu apabila kerugian itu lebih kecil dari uang muka, kelebihan uang muka itu kembali kepada nasabah, sebaliknya apabila kerugian itu lebih besar dari uang muka, nasabah harus menambah dari uang muka. Dari penjelasan ini dapat dilihat uang muka tidak mengandung unsur memakan harta orang lain secara batil, gharar ataupun maisir yang ada adalah upaya saling menguntungkan kedua belah pihak dan komitmen atas muamalah yang dilaksanakan. Inilah salah satu prinsip hukum Islam yaitu dalam bermuamalah tidak mendatangkan kerugian bagi diri sendiri dan tidak merugikan orang lain, karena dalam konsep Islam manusia hidup untuk mencapai falah yaitu konsep multidimensi yang memiliki implikasi pada aspek perilaku individual (mikro) dan perilaku kolektif (makro) yang lengkap dan menyeluruh (universal) bagi kehidupan manusia yang meliputi spiritualitas dan moralitas termasuk diantaranya bidang ekonomi . Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah; 

”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit)
Uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000, merupakan instrumen tambahan dalam akad Murâbahaħ yang dilakukan di lembaga keuangan syariah, yaitu uang muka dalam akad pembiayaan Murâbahaħ, dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak sepakat dan besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. Dengan demkian uang muka bukan sebagai satu syarat yang harus ada ketika berlangsungnya transaksi Murâbahaħ, tetapi sebagai syarat tambahan apabila terjadi kesepakatan antara bank dan nasabah yang mengiginkan adanya uang muka. Syarat tambahan ini tidak bertentangan dengan syariah karena syarat adanya uang muka adalah perkara yang mubah dan secara urf mengandung kemaslahatan agar masing-masing pihak memiliki komitmen, serius dan bersungguh-sungguh atas transaksi yang dilaksanakan dan terhindar dari kekecewaan serta kerugian yang berakibat pada konflik dan sengketa yang mengakibatkan pudarnya persatuan dan persaudaraan. Rasulullah saw. bersabda:
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik”. (H.R. Ahmad).
“Dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal”. (H.R. al-Tirmizi dari Amr bin Auf).
Adanya perbedaan pendapat tentang hukum uang muka dalam jual beli termasuk di dalamnya dalam pembiayaan Murâbahaħ karena masalah khilafiah. Masalah khilafiah hendaknya tidak dibesar-besarkan sehingga menghabiskan dan menguras waktu dan tenaga. Persoalan kaum muslimin bukanlah terletak pada perbedaan masalah-masalah khilafiah yang didasarkan pada ijtihad, akan tetapi terletak pada tidak difungsikannya akal, pembekuan fikiran, pembisuan kehendak, pemasungan kebebasan, perampasan hak asasi, pengabaian kewajiban, tersebarnya egoisme, pengabaian sunnah-sunnah Allah tentang alam dan masyarakat, kesewenangan atas kebenaran. Masalah khilafiah ini akibat faktor pemikiran yang timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah diantaranya, (a) masalah ilmiah, perbedaan menyangkut cabang syari’at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip pasti, (b) masalah alamiah, perbedaan mengenai sikap politik dan pengabilan keputusan atas berbagai masalah, (c) masalah politk, perbedaan yang bersifat politis dan fiqhi, (d) ikhtilaf fikriah, perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan atau mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah. Perbedaan yang terbesar umumnya adalah mengenai fiqh.
Memelihara diri dari yang mengandung unsur prasangka dan kesamaran yang masih diperselisihkan para ulama, dengan mencari jalan keluar dan tidak melibatkan diri dari masalah khilafiyah, usaha mencari jalan keluar dari perselisihan itu adalah sangat disukai, hal ini memiliki dampak yang sangat besar bagi tercapainya persatuan dan kesatuan serta terjalinnya persaudaraan yang kokoh dalam masyarakat,  sesuai dengan kaidah fiqhiyah:
“Keluar dari perselisihan adalah terpuji”
Perbedaan pendapat tentang uang muka ini termasuk ikhtilaf dalam lapangan fiqh karena perbedaan mengambil dalil hukum, yaitu berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. padahal kalau diteliti antara hadis yang melarang uang muka dan hadis yang membolehkan uang muka  adalah hadis dhaif yang tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum dan jumhur ulama sepakat atas tidak boleh hadis dhaif dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena harus dikembalikan kepada kaidah umum dalam bermuamalah, yaitu:

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Muamalah adalah ajaran Islam yang menyangkut aturan-aturan dalam menata hubungan antar sesama manusia agar tercipta keadilan dan kedamaian dalam kebersamaan hidup manusia.
Aspek muamalah merupakan bagian prinsipal dalam Islam karena dengannyalah kehidupan bersama manusia ditata agar tidak terjadi persengketaan dalam kontak sosial antara satu pihak dengan pihak lainnya dalam masyarakat. Dengan demikian muamalah menjadi sangat penting. Agama itu adalah muamalah.
Sejalan dengan kaidah di atas, untuk memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya dalam kegiatan transaksi bisnis seperti penetapan uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ adalah hadis Rasulullah riwayat al-Tirmizy dan Ibnu Majah dari Salman al-Farisy: 
“Yang halal adalah sesuatuyang dihalalkan Allah dalam kitabNya, dan yang haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam kitabNya”.
Hadis di atas menjadikan pedoman prinsip dalam bermuamalah yaitu; (a) untuk menetapkan kebolehan suatu bentuk muamalah tidak diperlukan mencari dasar hukum syar’inya, sebab hukum asalnya adalah boleh (mubah) bukan haram; (b) Keterangan tekstual (nash) dalam Alquran dan Sunnah tentang akad-akad muamalah tidak dimaksudkan sebagai pembatasan, dalam arti tidak dibolehkan menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru yang tidak termuat dalam Alquran dan sunnah; (c) dalam menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru tidak perlu dianalogikan bagi kebolehannya pada suatu muamalah yang telah dijelaskan di dalam nash (d) penentuan kebolehan tersebut tidak perlu dianalogikan pada suatu pendapat ijtihadi fiqh tertentu, atau pada beberapa bentuk muamalah yang telah ada dalam literatur hukum Islam, juga tidak perlu dilakukan talfiq (penggabungan beberapa pendapat); (e) Batasan atau ketentuan satu-satunya adalah tidak melanggar nash yang mengharamkan, baik nash Alquran maupun sunnah; dan (f) Hal yang harus dilakukan ketika membuat sebuah muamalah baru adalah meneliti dan mencari nash-nash yang mengharamkannya, bukan nash yang membolehkannnya.
Uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ sebagai aplikasi dari  asas Murâbahaħ yang dibangun atas dasar saling percaya antara nasabah dengan lembaga keuangan karena istilah lain dari Murâbahaħ adalah bai al-amanah. Amanah (kepercayaan, kejujuran) merupakan hal yang abstrak, agar tercapai kemaslahatan dalam bentuk yang konkrit, uang muka sebagai wujud konkrit pengikat amanah antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah. Firman Allah Q.S. al-Nisa (4) ayat 58:

¨Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menyampaikan amanat kepada yang  berhak menerimanya.”
Manusia menurut ajaran Islam adalah khalifah di muka bumi, bertugas menata kehidupan sebaik mungkin sehingga tercipta kedamaian dalam hidup di tengah manusia yang dinamis. Kehidupan damai tidak serta merta, akan tetapi diciptakan dan dirancang. Oleh karena itu perlu diciptakan perangkat-perangkat dan aparat-aparat untuk menciptakan perdamaian tersebut.
Amanah (trust) adalah modal utama untuk terciptanya kondisi damai dan stabilitas di tengah masyarakat, karena amanah sebagai landasan moral dan etika dalam bermuamalah dan berinteraksi sosial. Kalau mau memperhatikan syariat Islam dan seluruh ajarannya, akan didapati bahwa tujuan utamanya untuk maslahat dan kebahagiaan manusia, salah satu perilaku dan pengajaran tertinggi di dalam Islam adalah diwajibkannya sifat amanah, yang merupakan pembendaharaan agama Islam, khazanah yang sangat mendasar dan bahkan agama itu merupakan amanah.   
Dalam kitab-kitab sejarah perjuangan Rasulullah, amanah merupakan salah satu diantara beberapa sifat yang wajib dimiliki para Rasul. Mereka bersifat jujur dan dapat dipercaya, terutama dalam urusan yang berkaitan dengan tugas kerasulan, seperti menerima wahyu, memelihara keutuhannya dan menyampaikannya kepada manusia, tanpa penambahan, pengurangan atau penukaran sedikitpun. Mereka juga bersifat amanah dalam arti terpelihara dari hal-hal yang dilarang oleh Allah baik lahir maupun batin.
Dalam konteks perilaku kehidupan sehari-hari amanah memiliki arti tumbuhnya sikap untuk memelihara dan menjaga apa saja yang menjadi perjanjian atau tanggungan manusia berupa benda nyata atau yang bersifat maknawi karena amanah memiliki makna yang sangat luas yang mencakup seluruh hubungan muamalah dan hak-hak pihak lain yang harus ditunaikan.
Menepati amanah  merupakan moral yang mulia, Allah swt. menggambarkannya sebagai orang mukmin yang beruntung (Q.S.23:8), sebaliknya Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tidak merestui tipu dayanya (Q.S.12:52), dan orang yang mengkhianati amanah termasuk salah satu sifat orang munafik (hifokrit).
Amanah merupakan unsur yang amat vital dan sangat urgen keberadaanya dalam kelangsungan roda perekonomian, karena bencana terbesar di dalam pasar dewasa ini adalah meluasnya tindakan manipulasi, dusta, batil, khianat, bahkan menzalimi orang dengan perdagangan yang dilakukan, misalnya berbohong dalam mempromosikan barang (taghrir), mudah bersumpah, menimbun stok barang demi keuntungan pribadi, mengadakan persekongkolan jahat untuk memperdaya konsumen (tamajil), menyembunyikan kerusakan barang (tadlis) dan sebagainya. Pada hakikatnya perdagangan yang demikian disibukkan oleh laba kecil dari pada laba besar, terpaku kepada keberuntungan yang fana dari pada keberuntungan yang kekal.
Inilah yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. ketika beliau ke luar rumah dan melihat komunitas manusia sedang bertransaksi jual beli. Beliau berseru, wahai para pedagang! Pandangan para pedagang langsung terarah kepada beliau, Nabipun melanjutkan perkataannya, sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka, kecuali mereka yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan benar (HR. Tirmizi). Dalam hadis lain beliau bersabda : Sesungguhnya para pedagang adalah pendurhaka. Mereka berkata : Ya Rasulallah, bukankah jual beli dihalalkan? Nabi menjawab: Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong .(HR. Ahmad).
Amanah bertambah penting pada saat seseorang memesan barang kepada pihak lain yaitu dalam bentuk Murâbahaħ kepada pemesan pembelian yang merupakan salah satu bentuk pembiayaan Murâbahaħ di perbankan syariah. Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama, jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemalahatan atau keuntungan pihaknya tanpa memikirkan kemaslahatan atau keuntungan pihak lain, maka ia telah berkhianat.
Amanah merupakan faktor utama terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa, sebab dengan sikap amanah semua komponen bangsa akan berlaku jujur, tanggung jawab dan disiplin dalam setiap aktifitas kehidupan. Mewabahnya korupsi, monopoli dan oligapoli dalam berbagai lapangan kerja dan sektor ekonomi baik ekonomi mikro maupun ekonomi makro, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, hilangnya saling percaya, tumbuhnya saling mencurigai (negative thinking), menjamurnya mental hipokrit, apriori terhadap tugas dan kewajiban dan sifat-sifat tercela lainnya sebagai akibat dari hilangnya amanah.
Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang menetapkan Lembaga Keuangan Syariah dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat tidak bertentangan dengan asas-asas Murâbahaħ yang telah ditetapkan fuqaha masa lalu karena situasi dan kondisi antara pelaksanaan Murâbahaħ yang dilaksanakan zaman dahulu ketika fuqaha menetapkan kaidah-kaidah Murâbahaħ dan pelaksanaan Murâbahaħ masa kini sebagai salah satu portofolio pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah.
Dalam menetapkan suatu hukum tidak terlepas dari illat, yaitu sesuatu  yang sudah jelas lagi pasti yang dapat dipergunakan dasar pembinaan dan mengikat dalam menentukan ada atau tidaknya suatu hukum. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
 “Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”
Adapun yang menjadi illat dalam menetapkan hukum dibolehkannya uang muka dalam pembiayaan Murâbahaħ adalah muamalah tidak secara tunai dan pembayarannya dengan sistem taqsith (angsuran), dalam hal ini uang muka dianalogikan pada jaminan karena sebagai pengikat dan saling percaya ada dua belah pihak yang bermuamalah (bertransaksi).
Jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah swt. tidak menetapkan sesuatu hukum, kecuali untuk kemaslahatan hamba-hambaNya. Kemaslahatan itu ada dua macam, berupa manfaat bagi manusia dan berupa terhindarnya manusia dari kemadharatan. Oleh karena itu yang menjadi pendorong untuk menetapkan suatu hukum adalah mencari kemanfaatan bagi manusia dan menolak kemadharatan bagi manusia dan pendorong inilah yang menjadi tujuan yang dicapai dengan menetapkan hukum itu yang dinamakan hikmah suatu hukum.
Terdapat perbedaan antara illat dan hikmah, yaitu illat perkara yang sudah jelas lagi pasti yang dijadikan dasar pembinaan dan penentuan ada atau tidaknya suatu hukum, sedangkan hikmah adalah motivasi atau tujuan yang dimaksudkan oleh syara untuk mencari kemanfaatan yang harus didayagunakan dan kemadharatan yang harus dihindari dan dikurangi.
Referensi :
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
Yusuf Qardhawi Muhammad, Halal dan Haram Dalam Islam, diterjemahkan oleh Muammal hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 2007
Anshori Abdul Ghofur, Payung Hukum Perbankan Syariah, Cet. I; Yogyakarta: UUI Press, 2007
Faisal Afif, Strategi dan Operasional Bank, Bandung: PT Eresco, 1996
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Semarang: Toha Putera, 1999
Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat (Kontemporer), Yogyakarta: UII-Press, 1998
Shiddiqi, Muhammad Nejatullah, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti prima Yasa, 1996
 Syafe’i Rahmat, Fiqih Muamalah, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001
Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, juz 7
Yusuf Qardawi, Fiqh Ikhtilaf, (http://catatan hati.blogsome.com/2003/01/20
Habib Nazir dan Muh.Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari'ah, Bandung: Kaki Langit, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar