Kamis, 03 Mei 2012

STUDI TENTANG QAWA’ID FIQHIYYAH

Pengertian dan Batasan

Dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) kata qa’idah (قاعدة) atau jama’nya qawa’id (قواعد) secara literal berarti: asas, landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki makna yang sama dengan ‘asas’ atau ‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya (al-Nadwi, 1991).

Dari sisi pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al-Jurjani (Djazuli, 2006) mendifinisikan qai’dah sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah). Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan umum yang mencakup sebagian besar (aghlabiyyah) dari bagian-bagiannya (Nadwi). Mukhtar dkk (1995b) menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.

Berdasarkan penelitian terhadap kitab-kitab dan riwayat hidup para penyusunnya, aturan fiqih dalam bentuk qa’idah ini dapat tersusun melalui suatu proses yang panjang dan tidak terbentuk sekaligus sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge) tentang qa’idah sekaligus, melainkan secara bertahap (Jazuli, 2006). Menurut Jazuli, sebelum al-Karkhi dari madzhab Hanafi, sebelumnya telah ada pengumpulan qa’idah, namun tampaknya tidak tersusun menjadi karya sistematis, oleh seorang ulama madzhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Thahir ad-Dibasi hidup diakhir abad ke 3 Hijriyah sampai dengan awal abad ke empat. Sebanyak 17 qa’idah telah disusun oleh ad-Dibasi, yang kemudian juga disampaikan kepada seorang ulama madzhab as-Syafii yaitu Abu Sa’id al-Harawi. Dari sumber ad-Dibasi, al-Karkhi mengembangkannya lebih lanjut menjadi 36 qa’idah (an-Nadwi, 1997) atau 37 qa’idah (Jazuli). Proses pembentukan qa’idah dilukiskan oleh Jazuli sebagai berikut:



Gambar 1: Proses penyusunan Qawa’id Fiqhiyyah
 
 










Qawa’id disusun berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi untuk mendapatkan hasil qawa;id yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada, kemudian ketentuan-ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.

Posisi Qawa’id Fiqhiyyah dalam Syari’ah Islam

Proses penerapan aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmassani (1980) sama dengan penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam usul fiqh. Apabila aturan rinci sebagaimana dijumpai pada al-Asybah wan-Nazhair muncul dari kasus yang serupa, maka qa’idah dengan sendirinya dapat diterapkan. Nadwi (1991) dan Mahmassani berpendapat bahwa tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah tersusun sejak mulai abad ke delapan Hijriyah, melalui karya Ibnul Wakil as-Syafi’i (716 H), Tajuddin as-Subki (771 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), dan yang lebih monumental lagi karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H). Satu karya yang juga tak kalah pentingnya adalah berasal dari madzhab Hanafi yaitu karya Ibnu Nujaim (970 H).

Dalam ketiga kitab al-Asybah wan-Nazhair karya Tajuddin as-Subki, Jalaluddin as-Suyuti maupun Ibnu Nujaim (970 H), pembedaan antara qa’idah umum atau asas dengan qa’idah khusus atau rinci (detail) dijelaskan secara memadai. As-Subki dan as-Suyuti merumuskan Lima qa’idah asasiyyah yang dikenal dengan al-Asasiyyatul-Khamsah, yang kemudian disusun dalam al-Majallah yang dikeluaran pada jaman pemerintahan Turki Usmani, yaitu:
1) Artikel-2  Al-umuur bimaqaasidihaa (الأمور بمقاصدها) atau setiap perkara itu ditetukan berdasarkan niatnya;
2) Artikel -4 Al-yaqiin laa yuzaalu bisy-syakk (اليقين لا يزال بالشك) yaitu sesuatu yang pasti tidak dapat dihapus oleh keraguan. Dalam hal lain disebutkan Al-yaqiin laa yazuulu bisy-syakk (اليقين لا يزول بالشك) atau sesuatu yang pasti tidak dapat berubah disebabkan oleh keraguan;
3) Artikel -17    Al-musyaqqah tajlibut taysiir (المشقة تجلب التيسير) atau kesulitan itu mendatangkan kemudahan;
4) Artikel -21    Adh-dhararu yuzaalu (الضرر يزال) atau kemadharatan hendaknya dihapuskan; dan
5) Artikel -36    Al-‘aadah muhakkamah (العادة محكمة) atau adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum.

Sementara itu Ibnu Nujaim menambah satu lagi qa’idah asas sehingga menjadi enam, yaitu laa tsawaaba illaa bin-niyyah
 لا ثواب الا بالنية
atau tidak ada pahala bagi perbuatan yang tidak disertai dengan niat, yang kemudian menjadi qa’idah asas yang berlaku di kalangan madzhab Hanafi. Sementara itu di kalangan madzhab Maliki, qa’idah ini menjadi cabang dari qa’idah al-umuur bimaqaasidihaa.

Dalam penerapannya, Jazuli mengklasifikasikan qawa’id dalam enam bidang, yaitu ibadah mahdhah (khusus), ahwal as-Syahshiyyah (hal-ikhwal pribadi dan keluarga), mu’amalah (transaksi ekonomi), jinayah (kriminalitas), siyasah (politik), dan fiqh qadha (hukum acara dan peradilan). Namun demikian penerapan qa’idah untuk bidang mu’amalah tidak banyak menyinggung masalah penerapan untuk perekonomian modern secara umum. Disini keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi lebih jelas maknanya.

Qawa’id Fiqhiyyah dalam Masalah Ekonomi
Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek ekonomi, sebagaimana yang juga diklasifikasikan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25 qawa’id yang terkait dengan transaksi muamalah. Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan muamalah.

Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini dalam al-majallah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar